Tata Niaga yang Kacau Menjadi Celah Korupsi Impor Gula Mentah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perdagangan pada 2015-2016 yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi izin impor gula mentah (GM) menjadi perhatian publik. 

Kala itu, Tom—sapaan akrab Thomas, masuk jajaran kabinet jilid I Presiden Joko Widodo sebagai Mendag, menggantikan Rachmad Gobel yang di-reshuffle pada 12 Agustus 2015. Tugas Tom terbilang singkat, belum genap setahun karena digantikan oleh Enggartiasto Lukita pada 27 Juli 2016. 

Hanya saja, ketika itu pasar gula di Indonesia terbilang karut-marut. Saat Tom menjabat sebagai Mendag, pemerintah membuat keputusan dengan membuka keran impor gula mentah, tidak lagi hanya untuk gula kristal rafinasi (GKR), tetapi juga untuk bahan baku gula kristal putih (GKP).


Baca Juga: Temuan BPK: Izin Impor 1,69 Juta Ton Gula Tahun 2015-2017 Tak Lewat Rapat Koordinasi

Sebelumnya, berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) No. 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula; semestinya impor gula mentah atau GM hanya diperbolehkan untuk kebutuhan GKR bagi pabrik-pabrik atau perusahaan rafinasi.

Ada 11 pabrik gula rafinasi yang diizinkan beroperasi oleh pemerintah dan diperbolehkan mengimpor GM untuk dijadikan GKR yang digunakan oleh industri makanan dan minuman. Tak pelak, kuota impor GM yang membengkak ditambah rembesan GKR ke pasar GKP membuat kacau tata niaga gula.

Lantas dimana keterlibatan Tom?

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Abdul Qohar menjelaskan, pada 2015, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada perusahaan swasta, PT AP, untuk mengimpor gula kristal mentah. Padahal, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian pada 12 Mei 2015, Indonesia mengalami surplus gula dan tidak membutuhkan impor.

“Sehingga tidak perlu atau tidak membutuhkan impor gula,” ujar Abdul dalam konferensi pers di Kantor Kejagung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024) malam.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004, yang boleh diimpor oleh pemerintah hanyalah gula kristal putih yang siap dijual ke masyarakat. Selain itu, impor hanya boleh dilakukan oleh perusahaan BUMN.

Tapi impor gula tersebut dilakukan oleh PT AP dan tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait. “Serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri,” paparnya.

Baca Juga: Soal Dugaan Korupsi Impor Gula, Ini Respon Mendag

Alhasil, akibat korupsi tersebut, kerugian negara akibat perbuatan impor gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku diperkirakan mencapai Rp 400 miliar.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mendukung proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung. "Proses hukum pasti kita dukung, tapi itu tahun 2015 - 2016," ujar Budi ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (30/10). 

Abdul bilang, pihaknya terus melakukan pengembangan penyidikan perkara dugaan korupsi impor gula. "Untuk tersangka lain, kita ikuti perkembangan dari hasil penyidikan. Artinya tidak menutup kemungkinan akan bertambah tersangka lain apabila telah ditemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi," sebutnya. 

Khudori, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyarankan agar Kejagung tidak hanya fokus pada kasus Tom Lembong, tetapi juga memeriksa keseluruhan kebijakan impor pangan yang berpotensi merugikan negara. 

“Kekacauan dalam impor pangan bukan hanya terjadi pada gula, tapi juga pada komoditas lain seperti beras, garam, kedelai, dan daging,” ungkapnya dalam keterangan resminya.

Menurut Khudori, keputusan impor ini memicu gejolak harga gula di pasar karena suplai gula tidak memadai sementara permintaan tetap tinggi. "Langkah ini menyalahi aturan, baik dari sisi proses impor maupun penugasan pengelolaannya. Hasilnya, para pedagang menahan stok gula untuk menaikkan harga," tegas Khudori.

Dari temuan Kejagung, gula impor yang diolah oleh pabrik gula rafinasi tidak digunakan untuk operasi pasar, melainkan dijual kepada masyarakat melalui distributor dengan harga yang jauh di atas HET.

Kuota impor memang rawan penyelewengan. Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian menyebutkan, akar persoalan skandal korupsi di impor pangan termasuk gula ini adalah karena kebijakan pengendalian impor kita ini berbasis rezim kuota. Pemerintah membagi jatah impor kepada importir sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri. 

Baca Juga: Tom Lembong Tersangka, Kejagung Diminta Periksa Semua Kasus Impor Pangan

"Karena kuota itulah celah persoalan terjadi, ada masalah hukum baik pidana atau persaiangan usaha. Dari kuota itulah berpotensi terjadi persekongkolan dan praktik kartel," paparnya. 

Menurut Eliza, kuota ini terbit harus ada surat persetujuan impor dan rekomendasi produk impor hortikultura. Nah, ini berpotensi persekongkolan dan itu ada nilainya, terlebih lagi transparansi pemberian kuota ini pun amat sangat kurang, sehingga kerap kali impor pangan ini banyak kasusnya.

"Pemantiknya, disparitas harga antara harga internasional dan domestik yang cukup besar sehingga mendorong para rent seeker beraksi," terangnya. 

Meski terkadang surplus di dalam negeri tetap impor juga. Pun dengan bawang putih yang 95% impor. Tak ayal, perizinan impor bawang putih ini amat strategis bagi para pemburu rente. "Ya, rente manis dari gula pun tidak kalah menariknya," sebut Eliza.

Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengamini impor pangan tidak hanya gula, tapi juga bawang putih, daging, dan lainnya memang rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. "Apalagi sekarang impor gula kita itu sudah 70% dan Indonesia menjadi negara terbesar pengimpor gula di dunia," jelasnya kepada KONTAN, Rabu (30/10/2024).

Dwi menyebutkan, produktivitas gula di dalam negeri hanya 5-6 ton per hektare, sedangkan di Thailand sudah di atas 7 ton per hektare. Bahkan, Brazil produktivitasnya mencapai 10-13 ton per hektare. "Indonesia banyak impor gula mentah dari Thailand dan Brazil," terannya.

Dwi bilang, yang memantik korupsi impor pangan seperti gula ini adalah disparitas harga di dalam negeri dan di pasar global yang sangat tinggi. Harga pokok penjualan gula (HPP) di tingkat Rp 14.500 per kg, sedangkan di luar negeri Rp 9.600 per kg. "Dengan selisih yang besar, mending impor saja sudah untung besar tanpa harus menanam. Begitu, jadi pragmatis," sebutnya.

Itu sebabnya, kuota impor gula mentah untuk diolah menjadi gula rafinasi dan gula konsumsi menjadi buruan para importir karena keuntungannya sudah pasti, ketimbang membeli dari petani atau menanam di kebun sendiri yang produktivitasnya juga masih rendah.

Baca Juga: Anies Baswedan: Tom Lembong Adalah Orang yang Lurus

Merujuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2017, kebijakan pembukaan keran impor gula mentah untuk GKP memang mulai dilakukan sejak akhir tahun 2015. Ketika itu Kemendag memberikan surat persetujuan impor (SPI) sebanyak 105.000 ton.

Impor GM untuk GKP makin membeludak selang setahun kemudian.. Kemendag pada 2016 menerbitkan SPI gula mentah untuk gula konsumsi sebanyak 1,36 juta ton.

Menurut berkas LHP BPK pada 2016, impor gula tersebut juga banyak dilakukan oleh koperasi milik TNI dan Polri, alih-alih badan usaha milik negara (BUMN).

Deretan instansi atau korporasi yang menadah bagian kuota impor gula yang berafiliasi dengan Induk Koperasi Kepolisian (Inkoppol) mencakup; PT Berkah Manis Makmur, PT Dharmapala Usaha Sukses, PT Andalan Furnindo, PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, dan PT Sentra Usahatama Jaya. Total jatah impor mereka adalah 200.000 ton.

Sementara itu, koperasi milik TNI—Induk Koperasi Kartika — melalui PT Angels Products mendapat jatah 262.500 ton GKP, Satuan Koperasi Kesejahteraan Prajurit (SKKP) TNI dari PT Berkah Manis Makmur 20.000 ton, dan PT Adikarya Gemilang yang terafiliasi dengan Pusat Koperasi Polisi (Puskoppol) 30.000 ton.

Dari laporan BPK, Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Lampung pada 2016 juga meneken nota kesepahaman dengan PT Adikarya Gemilang dan Pabrik Gula Gorontalo untuk jatah impor 65.200 ton.

Baca Juga: Tom Lembong Tersangka, Begini Kasus Dugaan Korupsi Impor Gula yang Diusut Kejagung

Secara kumulatif, rentang 2015—2016, impor gula mentah untuk GKP menggelembung jauh di atas produksi dan konsumsi nasional. Pada 2015, produksi gula konsumsi nasional ditaksir mencapai 2,79 juta ton dengan kebutuhan gula konsumsi tahunan 2,81 juta ton. 

Dengan catatan tersebut, seharusnya defisit gula saat itu hanya mencapai 25.600 ton. Pada kenyataannya, SPI gula mentah yang diterbitkan oleh otoritas perniagaan di Ridwan Rais menembus 105.000 ton.

Pada 2016, kuota impor GM untuk GKP mencapai 1,36 juta ton. Tahun tersebut, kebutuhan GKP nasional diproyeksi sebanyak 3,05 juta ton, sedangkan produksinya 2,57 juta ton. Anehnya, defisit yang harus ditutup hanya sebanyak 477.200 ton. Dengan demikian, kuota impor yang diberikan malah membengkak dua kali lipat lebih tinggi dari yang semestinya dibutuhkan.  

Selanjutnya: Cek Rekomendasi Saham PTBA Usai Raup Laba Rp 3,23 Triliun di Kuartal III-2024

Menarik Dibaca: 5 Warna Cat Kamar Tidur yang Menenangkan, Ampuh Kurangi Stres

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .