Tawaran green bond mulai marak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pamor dan kepercayaan investor global terhadap Indonesia semakin meningkat. Hal itu setidaknya tampak pada minat investasi asing terhadap instrumen pendanaan baru yang diterbitkan oleh perusahaan swasta Indonesia.

Misalnya, meski tergolong produk baru yang diluncurkan oleh perusahaan swasta Indonesia, surat utang ramah lingkungan alias green bond yang dirilis Star Energy Group Holdings Pte Ltd, laris manis. Bahkan green bond yang dirilis melalui anak usahanya, Star Energy Geothermal (Wayang Windu) Limited, bisa mengail tenor jangka panjang hingga 15 tahun. Ini adalah tenor green bond terpanjang yang diterbitkan oleh emiten lokal.

Kontan.co.id memperoleh informasi, Wayang Windu telah merilis green bond senilai US$ 650 juta di Amerika Serikat (AS) pada Selasa, (17/4), waktu setempat. Dana hasil penerbitan green bond ini akan digunakan untuk keperluan refinancing.


Surat utang hijau Star Energy ini mematok kupon 6,75%. Obligasi ini memiliki tenor sepanjang 15 tahun, hingga 2033. Respons terhadap surat utang Star Energy tersebut positif. Permintaan green bond mencapai US$ 850 juta atau kelebihan permintaan (oversubscribed)sekitar 1,3 kali.

Penyerapan tinggi

Sebelumnya, di akhir Februari 2018, lembaga keuangan Tropical Landscape Finance Facility (TLFF) juga merilis green bond senilai US$ 95 juta. Hasil obligasi ini akan digunakan untuk mendanai PT Royal Lestari Utama, perusahaan patungan Michelin Prancis dan Grup Barito Pacific.

Anil Kumar, Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia, memaparkan, prospek green bond justru menarik karena sifatnya yang spesifik. Pada penerbitan obligasi konvensional, hanya investor obligasi mainstream saja yang bisa masuk. Sementara investor yang secara spesifik mencari surat utang bertema ramah lingkungan tidak bisa.

Sementara, melalui green bond, investor konvensional maupun investor khusus green bond sama-sama berpeluang menyerap surat utang tersebut. "Potensi penyerapan green bond menjadi lebih besar ketimbang yang konvensional," ujar Anil pada Kontan.co.id, Rabu (18/4).

Cuma, lantaran green bond merupakan hal baru di pasar modal dalam negeri, investor yang khusus mencari green bond belum banyak. Namun, menarik atau tidaknya prospek obligasi secara umum diukur dari risiko default dan imbal hasil (yield).

Dandi Hidayat Natanegara, Manajer Investasi Phillip Asset Management berujar, apapun jenis obligasinya, investor selalu menjadikan yield sebagai patokan. Saat ini, yield obligasi pemerintah ada di kisaran 6,3%. Secara konsensus, levelnya akan naik jadi 6,63% akhir tahun nanti. "Selama mengacu ke yield itu, penyerapan akan baik," kata dia.

Cuma memang, green bond masih butuh waktu lagi untuk berkembang di pasar domestik. Soalnya, meski lebih menarik, hal itu belum diimbangi oleh likuiditas yang tersedia.

Emisi green bond senilai US$ 650 juta di pasar domestik memang kelihatan cukup besar. "Tapi di luar jumlah itu terbilang kecil karena likuiditasnya memang sangat besar, makanya cenderung mudah terserap," pungkas Anil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati