Tawaran pajak murah hati, siapa tertarik?



JAKARTA. Ketika dokumen Panama Papers dan Offshore Leak meledak dua pekan lalu, pemerintah tak terlalu terkejut. Kabar miliarder menyimpan aset di luar negeri, tanpa melaporkan asetnya pada pemerintah, jelas bukan kabar baru.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku, telah mengecek nama-nama orang Indonesia baik pribadi maupun perusahaan yang tercatat di dokumen keluaran firma hukum Panama, Mossack Fonseca tersebut.

Hasil sementara, sebanyak 79% nama-nama tersebut sama dengan nama yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Mereka memiliki rekening di luar negeri atau offshore dan belum dilaporkan di Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Simpanannya, di dua negara tax haven bukan Singapura.


Meski tak kaget lagi, pemerintah berjanji serius mempelajari dugaan penghindaran maupun penggelapan pajak dari nama-nama yang tercantum Panama Papers dan Offshore Leak. Tujuan utama pemerintah, membawa masuk kembali aset tersebut ke dalam negeri dan menyumbang dana pembangunan.

Wajarlah pemerintah ngiler, lantaran potensi dana yang tersimpan di luar negeri tersebut luar biasa besar. 

Data Offshore Leak misalnya, mencatat 2.961 nama pengusaha, politisi, pejabat di Indonesia sebagai pemilik rekening offshore, dan ada 43 perusahaan offshore.

Dari data yang sudah dimiliki, pemerintah menghitung aset offshore di dua negara tax haven selain Singapura mendekati nilai Produk Domestik Bruto (PDB) kita yang sebesar Rp 11.400 triliun. Potensi pajak yang masuk tentu berarti untuk menyumbang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Penerimaan rendah

Maklumlah pemerintah ingin dana besar. Dengan fokus interkoneksi dan infrastruktur, pemerintah mengklaim membutuhkan dana super besar. Di sisi lain, penerimaan negara tak menunjukkan sinyal positif.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi penerimaan negara pada kuartal I-2016 Rp 247,8 triliun, lebih rendah dari pencapaian akhir Maret 2015 yang sebesar Rp 284 triliun.

Dari jumlah itu, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp 188,1 triliun, lebih rendah dari pencapaian setahun sebelumnya yang Rp 203,3 triliun.

Hampir seluruh pos peneriman pajak turun, yakni pajak penghasilan (PPh) migas, nonmigas, dan pajak pertambahan nilai (PPN). Padahal, pemerintah mengejar target pajak Rp 1.318,7 triliun tahun ini.

Penerimaan dari cukai untuk negara pun tak banyak berbeda. Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) realisasi penerimaan bea cukai tiga bulan pertama mencapai Rp 38,68 triliun. Padahal targetnya adalah Rp 42,55 triliun.

(Baca juga: Pemerintah janji kejar para pengemplang pajak)

Untuk menggenjot penerimaan pajak, pemerintah sudah menyiapkan beberapa cara besar, salah satunya membuat aturan Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty). Yang terbaru, memungkinkan pihak sengketa pajak menghentikan penyidikan pidana pajak dan mendapat tax amnesty.

Dari sisi cukai, pemerintah akan mengenakan dua produk baru yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kemasan botol plastik, yang masih ditentang oleh pihak pengusaha.

Berikut rencana pengampunan pajak yang disiapkan pemerintah:

Pengampunan Pajak

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah setuju untuk membahas Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak atau yang dikenal sebagai RUU Tax Amnesty. Namun, menurut anggota Komisi XI DPR dari fraksi DPI-P Andreas Eddy Susetyo, pemerintah harus menegaskan lagi tujuan pembentukan UU Tax Amnesty, apakah memperbesar penerimaan negara atau untuk membawa pulang aset di luar negeri (repatriasi).

Wajarlah pemerintah kebelet ingin membawa masuk aset luar negeri, termasuk yang namanya tercantum di Panama Papers, dengan iming-iming tax amnesty. Jika dikenakan 1% saja, pajak yang masuk mencapai Rp 114 triliun.

RUU Tax Amnesty

Pengampunan pajak dikecualikan kepada WP yang sedang dilakukan penyidikan dan berkasnya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, sedang dalam proses peradilan, atau sedang menjalani hukuman pidana , atas tindak pidana di bidang perpajakan.

Tarif tebusan pajak 1%, 2%, dan 3%, diberikan untuk wajib pajak yang melakukan repatriasi aset ke Indonesia.

Tarif Uang Tebusan yang harus dibayar ke kas negara atas Harta yang diungkapkan dalam Surat permohonan Pengampunan pajak bagi non-repatriasi adalah:

a. Sebesar 2% untuk pelaporan pada bulan ke-1 sampai dengan akhir bulan ke-3 sejak Undang-undang ini berlaku.

b. Sebesar 4% untuk pelaporan pada bulan ke-4 sampai dengan akhir bulan ke-6 sejak Undang-undang ini berlaku.

c. Sebesar 6% untuk pelaporan pada bulan ke-7 sejak Undang-undang ini berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.

Lantaran pembahasan tax amnesty masih jauh dari panggang, pemerintah menerbitkan aturan yang memungkinkan Wajib Pajak mengajukan permohonan penghentian penyidikan pidana pajak yang menjeratnya. Berikut ulasannya:

Penghentian penyidikan pidana pajak

Agar makin banyak pihak tak risau ketika menghadapi pajak, pemerintah membuka peluang bagi Wajib Pajak yang dalam proses penyidikan pidana pajak untuk mengajukan permohonan penghentian penyidikan kepada menteri keuangan.

Payung hukumnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 55 Tahun 2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara,

Begini syaratnya: Pertama, sebelum mengajukan permohonan penghentian, wajib pajak harus melunasi pajak yang selama ini tidak dibayar atau kurang bayar.

Kedua, nilai  yang harus ditambah dengan sanksi denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar.

Ketiga, jika permohonannya diterima oleh menteri keuangan, surat keputusan penghentian penyidikan akan dikeluarkan Jaksa Agung.

Adapun, mereka yang bisa mengajukan penghentian penyidikan adalah wajib pajak pribadi dan badan, kuasa wajib pajak serta pihak yang turut serta maupun yang membantu tindak pidana pajak

Menilik isi beleid ini, penghentian proses penyidikan dan proses pidana pajak ini dapat menjadi jalan keluar bagi para terpidana pajak untuk terbebas dari masalah pajak. Maklum, dalam beleid tax amnesty, mereka yang sedang dalam proses pidana pajak, tidak bisa diampuni. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Mekar Satria Utama menampik jika PMK ini disebut sebagai pendahuluan sebelum adanya UU Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty).

“Tidak ada hubungannya karena wajib pajak yang sudah masuk pengadilan, tidak bisa ikut tax amnesty,” katanya.

Menurut Mekar, peraturan menteri keuangan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses dalam melakukan tindakan penyidikan.

Sederhananya: wajib pajak yang mengakui kesalahan dan mau membayar utang pajaknya, pemerintah mempermudah prosesnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia