JAKARTA. Program Pengampunan Pajak atau
Tax Amnesty tinggal menghitung jam. Program ini akan berakhir 31 Maret 2017 sejak Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty pada 1 Juli 2016 lalu. Bisa dibilang, pemerintah tak mencapai target yang diharapkan. Tapi, bisa saja program
extra effort ini bisa menjadi pintu gerbang Direktorat Jenderal Pajak untuk menggali sumber pendapatan baru mendatang.Sampai Kamis (30/3) pukul 6 sore, total harta yang dideklarasikan peserta
tax amnesty mencapai Rp 4.724 triliun.
Rinciannya, Rp 3.547 deklarasi dana dalam negeri, Rp 1.031 triliun dana deklarasi luar negeri, serta Rp 146 triliun dana repatriasi. Realisasi uang tebusan yang masuk Rp 127 triliun. Dana tersebut terdiri dari Rp 112 triliun pembayaran tebusan, Rp 13,3 triliun pembayaran tunggakan, dan Rp 1,23 triliun pembayaran dari bukti permulaan. Padahal, ketika merancang program ini, pemerintah mematok target cukup tinggi. Sebut saja deklarasi luar negeri mencapai Rp 3.500 – Rp 4.000 triliun, dana repatriasi Rp 1.000 triliun. Sehingga, dengan tarif tebusan pengampunan pajak 2%-10% tergantung periode dan jenis peserta, uang tebusan yang masuk kantong pemerintah bisa mencapai Rp 165 triliun. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo mengatakan, mayoritas dana repatriasi atau hampir 60% berasal dari Singapura. Di bawah Negeri Singa Putih itu, repatriasi terbanyak diperoleh dari Cayman Island yaitu sekitar 11%, selanjutnya Hong Kong, British Virgin Island dan China. Direktur Eksekutif lembaga Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengakui, dari sisi repatriasi, realisasi jauh di bawah target. Namun, menurut dia, secara umum, amnesti pajak dapat dinilai berhasil, terutama dalam meningkatkan kesadaran pajak, jika melihat deklarasi harta yang dilaporkan. Wajib lapor Oiya, bagi peserta
tax amnesty, masih ada tugas setelah program ini berakhir. Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi.
Pertama, terkait pengalihan dan investasi harta. Bagi peserta yang menyatakan repatriasi, dananya dinantikan di berbagai instrumen investasi legal dalam negeri, berlaku paling kurang tiga tahun sejak harta dialihkan ke Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan no 119/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak dan Penempatan Investasi di Pasar Keuangan, ada beberapa instrumen yang bisa dipilih peserta amnesti pajak. Ada 6 pilihan, antara lain ke Surat Berharga Negara (SBN), obligasi korporasi dan pembiayaan BUMN, investasi keuangan pada Bank Persepsi, obligasi korporasi swasta yang perdagangannya diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), investasi infrastruktur yang bekerja sama dengan pemerintah, dan investasi sektor riil. Instrumen yang bisa dipilih antara lain efek bersifat utang termasuk Medium Term Notes (MTN), sukuk, saham, reksadana, efek beragun aset, unit penyertaan dana investasi real estat, deposito, tabungan dan giro. Dana juga bisa ditanamkan di produk asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, modal ventura yang mendapat persetujuan OJK. Nah, bagi Wajib Pajak yang melakukan deklarasi harta dalam negeri, dilarang mengalihkan harta keluar dari Indonesia, paling singkat tiga tahun sejak menerima Surat Keterangan Pengampunan Pajak.
Kedua, terkait pelaporan berkala harta tambahan. Peserta amnesti pajak diwajibkan melaporkan status penempatan harta tambahan yang dialihkan ke Indonesia. Laporan disampaikan setiap tahun, paling lambat pada batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dalam tiga tahun. Hari ini (30/3), Ditjen Pajak mengumumkan, bagi WP Orang Pribadi (OP), batas waktu laporan tahun pertama adalah 31 Maret 2018, tahun kedua adalah 31 Maret 2019, dan tahun ketiga adalah 31 Maret 2020. Sementara bagi WP Badan, batas waktu laporan tahun pertamanya adalah 30 April 2018, tahun kedua adalah 30 April 2019, dan tahun ketiga adalah 30 April 2020. Peserta yang menolak kewajiban ini bisa menghadapi risiko pengenaan pajak dengan tarif normal hingga 30% atas harta bersih tambahan yang telah diungkapkan dalam Surat Pernyataan Harta, beserta sanksi administrasi 2% per bulan. Menurut Yustinus, Ditjen Pajak harus melakukan penegakan hukum apabila Wajib pajak (WP) tidak ikut amnesti tetapi ditemukan harta yang belum dilaporkan, dan WP ikut amnesti tetapi tidak sepenuhnya jujur. Kewenangan ini penting dieksekusi agar wibawa pemerintah yang telah memberikan amnesti tetap terjaga. Pemeriksaan harus akuntabel dan ada
punishment bagi yang melanggar agar pemeriksaan tidak ngawur. Hak WP mendapat keadilan juga harus dijamin sepenuhnya.Apalagi ditambah dengan kewenangan Ditjen pajak untuk buka rekening bank dengan cepat. Perolehan pajak tetap seret Dengan semangat pengampunan pajak dan tarif tebusan mini, pemerintah belum bisa mengandalkan
tax amnesty untuk mendongkrak perolehan pajak. Tahun 2016, realisasi penerimaan pajak Rp 1.104,9 triliun. Jumlah itu lebih rendah dari target APBN-P sebesar Rp 1.355,2 triliun. Realisasinya, hanya tumbuh 4% dari tahun sebelumnya. Padahal, jika mengacu pada pertumbuhan pajak secara alamiah minimal harus tumbuh 8%, dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi 5% ditambah laju inflasi 3%. Dalam APBN 2017, pemerintah mematok target penerimaan pajak sebesar Rp 1.307,3 triliun. Jika dibandingkan dengan realisasi APBN-P 2016, target itu tumbuh sebesar 18%. Managing Partner DDTC Darussalam memperkirakan, realisasi penerimaan pajak tahun 2017 diperkirakan hanya sebesar Rp 1.226 triliun. Jumlah itu 6% lebih rendah dari target pemerintah. Menurut Darussalam, proyeksi itu telah mempertimbangkan pelambatan ekonomi yang terjadi, tingkat inflasi dan dampak kebijakan
tax amnesty. Hanya saja, Darussalam menganggap target pemerintah masih realistis untuk dicapai. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Yon Arsal mengatakan, sementara ini berdasarkan data yang ia kumpulkan, penerimaan pajak dari Januari hingga Februari 2017 tercatat Rp134,6 triliun yang di dalamnya sudah termasuk PPh Migas. Angka ini menunjukkan bahwa Februari 2017 penerumaan pajak tumbuh 8,15%. Pada periode yang sama tahun lalu menurut Yon, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 124,4 triliun “Jadi sebenarnya, ini sinyalnya positif,” kata Yon pekan lalu. Bidik kartu kredit Ditjen Pajak masih optimis mengejar sumber pendapatan pajak. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo menyatakan, ada sekitar 60 juta kepala keluarga yang semestinya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Namun yang tercatat saat ini hanya 36 juta WP. "Masih ada
space untuk NPWP baru. Termasuk yang punya NPWP, tapi tidak pernah lapor untuk ikut amnesti pajak," katanya, Rabu (29/3). Direktur Eksekutif lembaga Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengusulkan, Ditjen Pajak menggencarkan ekstensifikasi untuk menambah WP baru melalui kerja sama antarlembaga yang efektif. Pemerintah tengah menggarap kerja sama ini. Dimulai dengan perbankan. Ditjen Pajak kini sudah meminta bank menyiapkan data nasabah kartu kredit. Program ini disebut merupakan bagian dari upaya pengawasan atas kepatuhan pembayaran pajak. Asal tahu saja, aturan ini sebelumnya telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian data informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Data yang yaitu data pokok pemegang kartu dan transaksi kartu kredit periode Juni 2016 - Maret 2017 untuk seluruh pemegang kartu kredit. “Kami cek
profiling Wajib Pajak (WP) apakah cocok? Misalnya, WP itu lapor SPT berapa (penghasilannya), tapi transaksi kartu kreditnya berapa,” jelas Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo, Rabu (29/3). Pengumpulan data transaksi kartu kredit akan dilakukan rutin setiap akhir bulan. Adapun aparat pajak terikat hukum untuk menjaga keamanan dan kerahasiaan data tersebut. Pasal 34 UU Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyatakan, pegawai pajak yang membocorkan dikenakan sanksi satu tahun penjara. “Masyarakat tidak perlu khawatir sepanjang bayar pajak dan lapor SPT dengan benar. Ke depan kan data perbankan terbuka bagi Ditjen Pajak terkait
Automatic Exchange of Information (AEoI),” ujar Suryo. AEoI atau kerja sama pertukaran data pajak dengan negara-negara yang sepakat merupakan langkah besar pemerintah lainnya. Tujuannya, agar ada keterbukaan WP di luar negeri, menghindari penghindaran pajak yang dilarikan ke luar negeri. Pemerintah telah menyerahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) kerahasiaan bank dan menunggu masukan dari negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atas Perppu ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan, Perppu tersebut akan rampung Mei mendatang. Selain perangkat hukum level undang-undang, ada syarat lagi yang harus dipenuhi Indonesia untuk ikut AEoI.
Persyaratan tersebut berupa sistem pelaporan yang sama dengan negara lain mulai dari format hingga konten. Dengan begitu, pertukaran informasi dianggap adil, seimbang, dan sama-sama bertanggung jawab. Indonesia juga harus memiliki kerahasiaan
database yang kuat. "Pemerintah akan terus memperbaiki semua termasuk sistem TI agar setara AEoI," katanya. Yang terbaru, Ditjen Pajak berencana meluncurkan platform aplikasi pajak yang bisa diintegrasikan dengan beberapa produk instansi pemerintah lainnya dengan nama Kartu Indonesia Satu (Kartin1). Pemerintah berencana mengkolaborasikan Kartin1 dengan fitur dalam kartu kredit perbankan. Misalnya, akan ada reward point adalah pengurang Pajak Penghasilan (PPh) bruto bagi pengguna kartu kredit tersebut. Apabila program ini diterapkan secara konsisten bisa menjadi cikal bakal Single Identity Number (SIN). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia