JAKARTA. Repatriasi modal dinilai menjadi tolak ukur keberhasilan kebijakan pengampunan pajak. Oleh karenanya, RUU tax amnesty harus dapat mendorong pemilik dana tidak hanya mendeklarasikan aset yang belum dilaporkan, tapi juga merepatriasi dananya ke Tanah Air. Hal tersebut disampaikan pengamat pajak dari Universitas Indonesia Darussalam dan Direktur Eksekutif Center for Indonesi Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, di Jakarta, Kamis (26/5). Darussalam mengatakan, indikator keberhasilan tax amnesty terletak pada repatriasi aset-aset keuntungan di luar negeri dan pengumpulan data pajak terkait dengan perluasan wajib pajak baru. “Itu dua tujuan jangka panjang tax amnesty,” ujar dia kepada wartawan.
Sedangkan dalam jangka pendek, tax amnesty bertujuan menambah penerimaan pajak dalam APBN 2016 melalui uang tebusan. Namun, tujuan jangka pendek tersebut bukan merupakan fokus utama pemerintahan Presiden Jokowi. “Nah dalam konteks Indonesia saat ini, yang diutamakan adalah jangka panjangnya. Tujuan jangka pendek itu bukan merupakan fokus utama dari pemerintahan saat ini. Jadi fokus utama Pak Jokowi adalah menggerakkan sektor ekonomi dan memperkuat basis data untuk menguji wajib pajak di masa yang akan datang. Itu tolak ukurnya,” kata Darussalam. Hal senada diungkapkan Yustinus Prastowo. Menurutnya salah satu ukuran keberhasilan tax amnesty adalah kemampuan menarik dana dari repatriasi modal. “Saya kira itu salah satu ukuran yang paling penting adalah repatriasi, karena tujuan kita kan mengembalikan dana demi untuk menggerakkan perekonomian dan basis pajak,” katanya. Selisih tarif Terkait tarif tebusan antara deklarasi aset dan repatriasi modal, Darussalam mengatakan bahwa secara best practice internasional, perlu dibedakan. “Jadi yang memasukkan datanya atau yang melakukan repatriasi modal itu lebih rendah tebusannya daripada yang hanya sekadar deklarasi,” katanya. Jika jarak antara tarif tebusan repatriasi dengan deklarasi terlalu kecil, Darussalam mengatakan itu akan membuat orang lebih memilih deklarasi dan tidak merepatriasi dana di luar negeri ke Tanah Air.
Menurut dia, tax amnesty ini hanya memberikan pengampunan pajak terutang dan atas pajak yang berutang dan tindak pidana perpajakan. “Jadi bicara untuk tidak pidana di luar perpajakan, tidak usah dikait-kaitkan yang lain, karena ini khusus tindak pidana perpajakan saja,” katanya. Sedangkan Prastowo mengusulkan agar margin tarif tebusan deklarasi dan repatriasi modal jangan terlalu pendek, sehingga tidak menjadi intensif orang untuk merepatriasi, “Usulan saya adalah 2 atau 5% agar match. Jadi orang yang akan merepatriasi modal tetap ada insentif, kenapa? Saya bayar repatriasinya karena lebih murah,” ujarnya. Menurut Prastowo, selisih tarif yang kecil antara deklarasi dan repatriasi akan mendorong orang enggan untuk merepatriasi modalnya. Kalau tidak mendorong repatriasi dan hanya deklarasi, maka problemnya adalah negara ini tidak mendapat dana segar untuk pembangunan,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan