KONTAN.CO.ID-JAKARTA. DPR RI telah menyetujui RUU Pengampunan Pajak alias Tax Amnesty masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025. Sejalan dengan hal tersebut, maka Tax Amnesty Jilid III rencananya akan mulai diterapkan pada 2025 mendatang. Saat dikonfirmasi, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan belum mengungkapkan apa saja ketentuan yang dimuat dalam RUU tersebut. Hal ini dikarenakan RUU Pengampunan Pajak merupakan inisiasi dari Komisi XI DPR RI. "Kami di Baleg juga belum terlalu tau isinya, karena selain merupakan perubahan dari undang-undang tersebut, juga yang mengajukan/menginisiasi RUU tersebut dari Komisi XI," ujar Bob Hasan kepada Kontan.co.id, Minggu (24/11).
Ia menegaskan bahwa dalam kesepakatan antara Baleg dan komisi-komisi di DPR, setiap komisi diberikan kesempatan untuk mengajukan RUU sebagai bagian dari Prolegnas Prioritas Tahun 2025.
Baca Juga: Program Tax Amnesty Jilid III Diprediksi Membidik Pelaku Shadow Economy Terkait urgensi suatu RUU untuk dimasukkan dalam daftar prioritas, Bob Hasan menjelaskan bahwa proses penentuannya tidak hanya berdasarkan tahapan pembahasan, tetapi juga mempertimbangkan kelanjutan atau
carry over dari RUU yang sudah dibahas sebelumnya. "Khususnya untuk RUU Pengampunan pajak yang sering disebut 'Jilid', maka untuk RUU yang sekarang ini tinggal menyesuaiakan," katanya. Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan bahwa RUU Tax Amnesty akan dibahas bersama pemerintah pada tahun depan. Hal ini agar program Tax Amnesty bisa langsung dijalankan. "Kalau menurut saya sebaiknya di tahun 2025, karena di tahun 2025 itu nanti
cut-off-nya tax amnesty itu di tahun 2024, sehingga ke depannya kita sudah membersihkan hati kita masing-masing untuk selesaikan sektor pajak," ujar Misbakhun kepada awak media di Jakarta, Selasa (19/11). Menurutnya, Tax Amnesty bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan perpajakan di masa lalu dan mendorong Wajib Pajak agar lebih patuh. "Kita juga harus memberikan peluang terhadap kesalahan-kesalahan pada masa lalu untuk diberikan sebuah program. Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni. Maka, Tax Amnesty ini salah satu jalan keluar," imbuh Misbakhun. Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai bahwa jika program tersebut kembali diluncurkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi kepatuhan perpajakan di Indonesia.
Baca Juga: Rencana PPN Naik Menuai Petisi Penolakan Menurutnya, pengampunan pajak yang dilakukan secara berulang berpotensi menciptakan persepsi yang keliru di kalangan Wajib Pajak, terutama yang awam dengan aturan perpajakan. Raden bercerita tentang pengalamannya menangani klien yang memiliki pengalaman salah terkait kewajiban pajak. Klien tersebut mengira bahwa kewajiban untuk melaporkan pajak hanya berlaku setiap lima tahun sekali, karena selama ini ia hanya dihubungi oleh
Account Representative (AR) dari Direktorat Jenderal Pajak pada momen-momen tertentu, yakni saat ada program Pengampunan Pajak atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS). "Dia kaget ketika belum lima tahun, yaitu 2024 sudah dipanggil lagi karena tidak lapor SPT Tahunan," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Selasa (19/11).
Secara akademis, Pengampunan Pajak yang dilaksanakan berulang kali dapat merusak fondasi kepatuhan pajak. Berbagai kajian ilmiah dan akademik menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat menurunkan rasa kewajiban wajib pajak untuk patuh membayar pajak secara reguler. "Secara kajian akademis, Pengampunan Pajak yang dilakukan berkali-kali memang berdampak negatif bagi kepatuhan pajak," katanya.
Baca Juga: Tax Amnesty Jilid III akan Dimulai 2025, Begini Respon DJP Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati