KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan memperkirakan
tax ratio alias rasio pajak di tahun ini akan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun lalu. Penurunan
tax ratio tersebut sehubungan dengan indikator
tax bouyancy yang juga melemah. Sebelumnya,
tax buoyancy merupakan sebuah indikator untuk mengukur respons atau elastisitas penerimaan pajak terhadap kondisi ekonomi yang direfleksikan oleh pertumbuhan ekonomi. Dalam paparannya, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin,
tax buoyancy diperkirakan hanya berada di level 0,09 pada tahun ini.
Ini tidak terlepas dari penurunan penerimaan perpajakan pada tahun 2023 yang dipatok sebesar Rp 2.021,2 triliun, atau lebih rendah dari penerimaan perpajakan 2022 yang sebesar Rp 2.034,5 triliun.
Baca Juga: Kemenkeu Tetapkan Beleid Baru Tentang Komite Pengawas Perpajakan, Ini Fungsinya Angka
tax buoyancy 2023 ini lebih rendah lantaran pada dua tahun terakhir, angka
tax buoyancy masih menyentuh di angka 2. Misalnya pada tahun 2021 berada di angka 2,04 dan tahun 2022 berada di angka 2,08. Sejalan dengan angka
tax buoyancy tersebut, Kemenkeu memperkirakan rasio pajak alias
tax ratio 2023 hanya akan menyentuh di angka 9,61%. Lagi-lagi, angka
tax ratio ini lebih rendah dari tahun 2022 lantaran pada waktu tersebut mencapai 10,41%. Pencapaian
tax ratio pada tahun 2022 tersebut menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia semakin baik sejalan dengan sistem administrasi perpajakan yang juga membaik. Sebenarnya, rasio pajak Indonesia telah mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan
tax ratio pada saat pandemi Covid-19. Tercatat, pada tahun 2020, rasio pajak mencapai titik terendah yakni hanya sebesar 6,68%. Kemudian, pada tahun 2021 dan 2022 mengalami pertumbuhan masing-masing 9,11% dan 10,41%. "Hanya 2020 saat ada pandemi, rasio perpajakan relatif membaik dibandingkan masa-masa pandemi. Jadi, ini adalah hal yang positif," ujar Rahadian dalam acara webinar belum lama ini, dikutip Jumat (27/1). Hanya saja, pada tahun ini, harga komoditas diperkirakan tidak akan setinggi tahun lalu sehingga berimbas kepada penerimaan perpajakan. Belum lagi ada beberapa program yang tidak berulang di tahun ini seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Alhasil, rasio pajak juga akan ikut melorot. "Dua hal itu adalah bagian dari pendapatan termasuk dari penerimaan pajak di tahun 2022 yang kemudian akan sulit untuk dicapai di tahun 2023," katanya.
Baca Juga: Pemerintah Tawarkan Sejumlah Insentif untuk Investor IKN, Begini Respons Pengusaha Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan bahwa sepanjang dua tahun terakhir,
tax buoyancy berada di angka 2. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan penerimaan perpajakan dua kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan perekonomian secara nominal. "Dengan
buoyancy, kita yang selama dua tahun terakhir kita akselerasi kembali, sehingga pada tahun 2023 ini kembali pulih," kata Yon.
Dirinya bilang, pihaknya akan terus berkomitmen untuk mengembalikan rasio pajak di atas angka 10% dan juga meningkatkan
tax buoyancy lewat berbagai reformasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Memang dalam UU APBN, pemerintah tidak mematok target rasio pajak. Meski begitu, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan penerimaan pajak di atas target yang ditetapkan agar berdampak kepada peningkatan tax ratio dan juga menjaga
tax buoyancy berada di atas angka 1. "Ini merupakan tantangan bagi otoritas perpajakan Kementerian Keuangan di tahun 2023. Bagaimana tidak semata-mata mencapai target 100%, tetap juga mencapai target lebih dari
tax buoyancy 1 sebetulnya, sehingga
tax ratio bisa kami tingkatkan," jelas Yon. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari