Tax Ratio Negara OECD Meningkat Pasca Pandemi, Bagaimana dengan Indonesia?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) melaporkan bawah penerimaan rasio pajak dan penerimaan pajak negara OECD berhasil pulih setelah terdampak pandemi Covid-19 pada tahun 2020.

Tercatat, rata-rata rasio pajak negara OECD terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2021 meningkat 0,6 poin persentase sehingga menjadi 34,1%.  Angka ini membaik jika dibandingkan dengan rasio pajak pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara tersebut berhasil pulih dari guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Lalu bagaimana dengan negara non-OECD seperti Indonesia?  Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tingkat rasio pajak Indonesia di tahun 2021 mencapai 9,11% terhadap PDB. Rasio pajak ini meningkat 0,7 poin persentase dari tahun 2020 yang hanya sebesar 8, 33% PDB.


Adapun kenaikan rasio pajak tersebut seiring membaiknya perekonomian Indonesia di tahun lalu. Bahkan, jauh lebih baik dibandingkan saat awal pandemi di 2020.

Baca Juga: Ekonomi Membaik, Rasio Pajak Negara OECD Ikut Terkerek

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa Data Moneter Internasional (IMF) mematok rasio pajak di suatu negara minimal 15%. Hanya saja, dirinya menilai bahwa patokan rasio bukanlah yang utama. Melainkan, mengurangi tax expenditure, menghapus fasilitas perpajakan yang tak efektif, serta menutup kebocoran yang ada merupakan fokus utama yang harus dilakukan pemerintah.

"Tax ratio itu sendiri sebagai benchmark bermasalah. Untuk itu, saya kira tak usahlah dijadikan patokan," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (4/12).

Menurutnya, membandingkan rasio pajak antar negara memang tidak fair (adil) lantaran adanya perbedaan kebijakan dan regulasi. Untuk di Indonesia sendiri, dari struktur ekonomi masih bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan. Bahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor perkebunan di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat sehingga sulit untuk memajakinya.

"Dari teknis pasti kesulitan, mereka kan harus pungut-setor-lapor sendiri. Seorang petani kecil negerjain SPT masa atau tahunan. Saya nggak ngebayangin. Itu pun kalau potensi penerimaannya ada. Kalau karyawan enak tinggal lapor aja," katanya.

Kedua, kata Fajry, ekonomi Indonesia masih ditumpu oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta sektor normal. Untuk itu, baik UMKM dan sektor non formal tersebut sulit untuk dipajaki (hard to tax). Belum lagi soal regulasi Indonesia yang masih banyak memberikan fasilitas perpajakan.

Dalam Laporan Perpajakan (Tax Expenditure Report), kata Dia, fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN)menjadi salah satu biaya terbesar dalam belanja perpajakan. Alhasil, banyak sektor yang PPN-nya tak bisa dipungut akibat regulasi yang ada.

Baca Juga: Sri Mulyani: Pemerintah Jaga Defisit APBN 2023 di Bawah 3%

Selain itu, ada lagi soal ambang batas PKP Indonesia yang terlalu tinggi mencapai Rp 4,8 miliar, sehingga banyak pengusaha yang tidak masuk sistem perpajakan Indonesia. Kemudian, soal definisi tax revenue di negara OECD yang bisa tinggi lantaran memasukkan social contribution sebagai penerimaan pajak.

"Terakhir, di Indonesia sebagian sudah dipecah ke dalam pajak daerah. Sedangkan di negara tetangga, tak ada pajak daerah. Harus ada ukuran lain yang bisa dibandingkan dengan negara lain," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi