Tax & royalty bisa menggenjot investasi migas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi hulu migas Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami tren penurunan. Lesunya investasi bukan hanya disebabkan harga minyak yang masih dalam tren menurun tetapi juga karena berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian.

Salah satunya soal kontrak bagi hasil gross split. Namun pemerintah bersikukuh kontrak bagi hasil gross split yang justru bisa memperbaiki iklim investasi migas yang tengah suram.

Kontrak bagi hasil gross split sejatinya bukanlah barang baru di sektor hulu migas. Pengamat Energi, Pri Agung Rakhmanto, bilang kontrak bagi hasil gross split yang merupakan bagian dari PSC (production sharing contract), dengan sistem hasil diambilkan dari gross dan risiko sepenuhnya ditanggung kontraktor menyerupai sistem Service Contract (SC).


Beberapa negara yang menerapkan sistem Service Contract diantaranya adalah Filipina, Brazil, Peru, Chile, Equador, Venezuela, India, Iran, Kuwait, hingga Saudi Arabia.

Sayangnya, negara seperti India yang menerapkan skema seperti gross split juga tidak mendapatkan respon yang baik. Sebaliknya, negara seperti Arab Saudi, Iran, Kuwait, dan Brazil bisa mendapatkan respon yang positif karena ada faktor pendukung lainnya yaitu cadangan minyak yang cukup besar.

"Sistem kontrak itu kan hanya salah satu elemen saja. Service contract, diterapkan di Iran, Saudi, Kuwait, Brazil, Venezuela, akan tetap menarik karena cadangan migas mereka besar. Tapi kalau seperti di India, dan juga Indonesia, berat, karena cadangan migas kita termasuk kecil," jelas Pri Agung ke Kontan.co.id pada Kamis (23/11).

Pri Agung bilang sistem kontrak yang diterapkan pemerintah merupakan fungsi dari tawar masing-masing negara secara relatif terhadap kontraktor.

Sistem kontrak ini dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain seperti potensi geologis dan objektif yang ingin dicapai suatu negara dengan sistem kontrak tersebut. Salah satu yang paling mudah diterapkan adalah sistem kontrak tax &royalty;.

Sistem tax &royalty; ini sudah banyak diterapkan di negara maju. Sistem kontrak ini dianggap lebih simpel karena negara hanya mendapat hasil bersih dalam bentuk pajak dan royalti saja.

"Sistem tax&royalti; menjadi menarik karena di samping simpel dalam hal birokrasinya, juga negara tidak memungut terlalu besar dari royaltinya. Rata-rata royaltinya hanya sekitar 20% saja, bahkan banyak lebih rendah. Tidak seperti gross split kita yang base split untuk pemerintahnya saja sudah sebesar 57% untuk minyak," kata Pri Agung.

Untuk itu, Pri menilai solusi yang paling tepat yang bisa dilakukan saat ini oleh pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi hulu migas adalah dengan menjadikan gross split menjadi opsi bagi KKKS. Selain itu, pemerintah juga bisa terbuka untuk menggunakan sistem kontrak lain selain gross split.

"Negara lain banyak yang tidak menggunakan satu jenis kontrak kok. Disesuaikan dengan kondisi lapangan, kondisi geologis, objektif yang ingin dicapai dan lain-lain. Yang jelas, namanya bisnis, maka tidak kaku," ujarnya.

Namun Pri mengingatkan, jika pemerintah ingin membuat opsi menggunakan sistem tax & royalty, maka pemerintah juga harus merevisi UU Migas agar skema tax &royalty; tidak bertentangan dengan aturan yang ada.

"Caranya dengan terlebih dulu mengubah tata kelembagaan hulu migas yang ada, yaitu dengan menunjuk BUMN sebagai wakil dari negara untuk berkontrak migas dengan perusahaan-perusahaan migas/kontraktor yang ada. Dengan demikian, bentuk kontraknya bisa bermacam-macam, fleksibel, tanpa harus khawatir bahwa hal itu melanggar konstitusi. Makanya, seharusnya yang dilakukan pemerintah itu menyelesaikan persoalan revisi UU migas dulu, bukan malah menerapkan gross split,"jelasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto