KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan pekan lalu meluncurkan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan. Nah, tak lama setelah itu, Peraturan OJK (POJK) No. 12 Tahun 2021 tentang Bank Umum mulai berlaku pada 31 Oktober 2021. POJK ini salah satunya mengatur pendirian serta bisnis bank digital. Termasuk mengatur modal minimum senilai Rp 10 triliun untuk pendirian bank digital secara penuh. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana OJK sendiri sudah memiliki hasil penilaian atas kematangan digital bank dalam cetak biru transformasi digital perbankan. Secara garis besar, kesiapan digital banking masih rendah. OJK menggunakan Digital Maturity Assessment for Bank (DMAB). DMAB mengevaluasi tingkat kematangan digital bank dalam 6 (enam) dimensi.
Yang paling menjadi sorotan OJK adalah rasio tingkat manajemen risiko baru siap 43%, atau terendah, Kesiapan termasuk manajemen risiko teknologi informasi, keamanan siber dan
outsourcing. Sementara tingkatan kesiapan soal data sudah 57%, teknologi 50%, kolaborasi 53%, tatanan institusi 46% dan customer 50%. Meski rapor masih merah, kita acap melihat promosi bank digital amat gencar dan kadang berlebihan. OJK mencermati unsur
gimmick mengklaim sebagai bank digital. "Bank mengklaim bank digital yang membuat harga saham naik dan sebagainya. Kami mengembangkan assesment bagaimana kami menilai kadar digitalisasi," ungkap Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto, belum lama ini. Sinyalemen OJK itu masuk akal. Mengingat analis dan banyak pihak yang meminta investor waspada. Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy sudah beberapa kali mengimbau agar investor berhati-hati menyikapi saham-saham bank kecil yang harganya sudah jauh lebih tinggi dari harga buku. Meski bank digital begitu marak berpromosi, OJK tak membedakan bank tradisional yang sama sekali belum memiliki layanan digital. Atau bank digital penuh melalui pendirian bank baru. "Itu pilihan strategi bisnis masing-masing bank," kata Heru, pekan lalu. Yang jelas menurut OJK, secara kelembagaan tetap sebuah bank yang tunduk pada Undang-Undang (UU) Perbankan. Artinya tujuan bank adalah menyalurkan kredit ke nasabah. Dengan ujungnya menggerakkan perekonomian nasiona. Yang ironi terjadi di Bank Jago. Bank yang cukup getol berkampanye digital ini ternyata tidak menyalurkan kredit langsung ke nasabah. "Belum ada kredit disalurkan langsung ke debitur. Aplikasi Jago saat ini baru tahap melakukan transaksi funding dan pembayaran. Apakah akan masuk ke kredit? Itu menarik, tapi kapan masuk kesana masih dalam proses kajian dan persiapan," terang Direktur Kepatuhan dan Sekretaris Perusahaan Bank Jago, Tjit Siat Fun Kamis (28/10).
Bank Jago selama ini hanya menjadi pendana
financial technology (fintech) atau
channeling multifinance. Mungkin tidak ada yang salah dengan strategi ini. Tapi langkah tersebut membuktikan, bank digital tidak bisa menggantikan bank konvensional.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai, opsi akuisisi bank bermodal jumbo berlanjut untuk menggarap bisnis digital. "Bank digital tetap menjadi pilihan di masa mendatang. Ini tren yang tidak terhindarkan agar bisa melayani semua segmen sesuai kondisi terkini," kata Amin, Senin (1/11). Amin menilai, bank digital perlu meningkatkan beberapa hal. "Meningkatkan keamanan sistem operasi yang dilengkapi dengan standar operasional prosedur (SOP) dan aturan yang ketat," ujar Amin. OJK sendiri siap menerbitkan POJK terkait manajemen risiko keamanan siber bank. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ahmad Febrian