Sepeda motor modifikasi dengan tiga roda umumnya dipakai untuk orang-orang difabel. Dengan moda transportasi ini, mereka bisa bepergian dengan leluasa. Tulus Budi Prasetyo pun mencoba mewujudkan mimpi mereka. Berangkat dari hobi otak-atik sepeda motor, Tulus membangun bengkel modifikasi untuk memenuhi pesanan dari seluruh Indonesia. Cacat fisik tak harus mengekang kreativitas. Kalimat itu pantas dilontarkan kepada Tulus Budi Prasetyo yang mengalami kelainan fisik akibat polio.Namun, kekurangannya itu justru memicu idenya untuk memodifikasi sepeda motor menjadi kendaraan roda tiga bagi pengidap polio. “Ini bukan bisnis semata, saya ingin membantu orang-orang difabel,” tutur Tulus. Sama seperti anak-anak lainnya, ketika masih kanak-kanak, Tulus berjalan dan berlarian di pekarangan rumahnya, di Karanganyar, Solo. Hingga menginjak usia dua tahun, gerak lincah kakinya terhenti. “Saya jatuh, kemudian disuntik. Ternyata saya kena polio. Dua kaki saya tidak bisa jalan,” kata lelaki kelahiran 12 Oktober 1972 ini. Lantas, ia pun memakai alat bantu untuk berjalan. Hingga tamat sekolah menengah atas, Tulus berjalan dengan alat bantu. Pertama kali dia memodifikasi sepeda motor roda tiga saat dia kuliah di Jurusan Statisika di Institut Pertanian Bogor tahun 1991. Ia membeli Honda Astrea Grand dan memodifikasinya menjadi sepeda motor roda tiga. Motor itulah yang menjadi alat transportasinya selama enam tahun.Sebenarnya, ide ini muncul karena Tulus sering mengotak-atik tubuh sepeda motor. “Saya juga suka jalan-jalan. Dua faktor ini yang mendorong saya untuk membuat motor roda tiga,” tuturnya. Tulus pun sempat bergonta-ganti sepeda motor karena ada kerusakan mesin. “Maklum, sepeda motor modifikasi tidak bisa jalan jauh, tidak ada rem belakang. Masalahnya itu-itu saja,” kata Tulus. Di tahun 2009, setelah menyandang sarjana statistika, Tulus aktif mencari bengkel las dan bubut sepeda motor di Jakarta. Kemudian, ia menemukan satu bengkel di kawasan Cempaka Putih. Ia berteman dengan pemilik bengkel itu dan bekerja sama. “Saya memberi modal mesin las dan rancangan modifikasi sepeda motor roda tiga,” kata Tulus. Bengkel bersama itu diberi nama Motor 4 Difabel (Motor for Difabel). Rupanya cukup banyak orang yang tertarik memodifikasi sepeda motor di bengkelnya. Mereka mengetahui bengkel itu dari blog rodatiga.wordpress.com milik Tulus. “Paling jauh saya ambil sepeda motor yang mau dimodifikasi dari Tangerang,” ucap Tulus.Bila ada peminat dari luar kota, sepeda motor dikirim via jasa pengiriman barang. Pernah Tulus kedatangan permintaan dari Bandung, Surabaya, dan Bengkulu. Proses memodifikasi sepeda motor memakan waktu antara dua hingga tiga minggu, tergantung kelengkapan bahan dan jenis sepeda motor. “Matik lebih lama karena pengerjaannya lebih rumit dan harus teliti,” kata Tulus. Ketika memodifikasi, ia pun berusaha tidak merombak seluruh bagian sepeda motor. "Sebisa mungkin sepeda motor roda tiga itu bisa dikembalikan ke semula, menjadi sepeda motor roda dua,” tutur bapak satu anak ini. Tulus memasang harga Rp 5 juta hingga Rp 7 juta untuk modifikasi setiap sepeda motor. Harga tergantung jenis sepeda motor dan perlengkapan yang diminta pemesan, seperti kotak penyimpan kursi roda dan lainnya. Saban bulan ia bisa memodifikasi dua hingga tiga sepeda motor. Modifikasi sepeda motor roda tiga ini sebenarnya merupakan pekerjaan sampingan Tulus yang menjadi programmer sebuah produsen peta penerbangan. Untuk menjangkau kantornya di Kemayoran yang berjarak 17 km, ia pun mengandalkan sepeda motor roda tiga. Melihat semakin banyaknya permintaan, Tulus berniat membuka sistem franchise Motor 4 Difabel. Ia ingin menyebarkan bengkel modifikasi sepeda motor roda tiga ini hingga ke luar Pulau Jawa. “Selama ini permintaan dari luar Pulau Jawa terkendala transportasi angkut sepeda motor ke Jakarta,” katanya. Daerah yang dia incar, yakni Lampung dan Palembang. Selain itu, ia ingin ada standardisasi model sepeda motor roda tiga dari Agen Tunggal Pemegang Merek. Tulus juga berharap sosialisasi SIM D khusus orang-orang difabel terus digencarkan kepolisian. Maklum, SIM D baru disosialisasikan sejak awal tahun 2011 di Jakarta. Padahal, di Yogyakarta, sosialisasi sudah dilakukan sejak 2009.
Teguh memodifikasi motor agar para difabel leluasa bepergian
Sepeda motor modifikasi dengan tiga roda umumnya dipakai untuk orang-orang difabel. Dengan moda transportasi ini, mereka bisa bepergian dengan leluasa. Tulus Budi Prasetyo pun mencoba mewujudkan mimpi mereka. Berangkat dari hobi otak-atik sepeda motor, Tulus membangun bengkel modifikasi untuk memenuhi pesanan dari seluruh Indonesia. Cacat fisik tak harus mengekang kreativitas. Kalimat itu pantas dilontarkan kepada Tulus Budi Prasetyo yang mengalami kelainan fisik akibat polio.Namun, kekurangannya itu justru memicu idenya untuk memodifikasi sepeda motor menjadi kendaraan roda tiga bagi pengidap polio. “Ini bukan bisnis semata, saya ingin membantu orang-orang difabel,” tutur Tulus. Sama seperti anak-anak lainnya, ketika masih kanak-kanak, Tulus berjalan dan berlarian di pekarangan rumahnya, di Karanganyar, Solo. Hingga menginjak usia dua tahun, gerak lincah kakinya terhenti. “Saya jatuh, kemudian disuntik. Ternyata saya kena polio. Dua kaki saya tidak bisa jalan,” kata lelaki kelahiran 12 Oktober 1972 ini. Lantas, ia pun memakai alat bantu untuk berjalan. Hingga tamat sekolah menengah atas, Tulus berjalan dengan alat bantu. Pertama kali dia memodifikasi sepeda motor roda tiga saat dia kuliah di Jurusan Statisika di Institut Pertanian Bogor tahun 1991. Ia membeli Honda Astrea Grand dan memodifikasinya menjadi sepeda motor roda tiga. Motor itulah yang menjadi alat transportasinya selama enam tahun.Sebenarnya, ide ini muncul karena Tulus sering mengotak-atik tubuh sepeda motor. “Saya juga suka jalan-jalan. Dua faktor ini yang mendorong saya untuk membuat motor roda tiga,” tuturnya. Tulus pun sempat bergonta-ganti sepeda motor karena ada kerusakan mesin. “Maklum, sepeda motor modifikasi tidak bisa jalan jauh, tidak ada rem belakang. Masalahnya itu-itu saja,” kata Tulus. Di tahun 2009, setelah menyandang sarjana statistika, Tulus aktif mencari bengkel las dan bubut sepeda motor di Jakarta. Kemudian, ia menemukan satu bengkel di kawasan Cempaka Putih. Ia berteman dengan pemilik bengkel itu dan bekerja sama. “Saya memberi modal mesin las dan rancangan modifikasi sepeda motor roda tiga,” kata Tulus. Bengkel bersama itu diberi nama Motor 4 Difabel (Motor for Difabel). Rupanya cukup banyak orang yang tertarik memodifikasi sepeda motor di bengkelnya. Mereka mengetahui bengkel itu dari blog rodatiga.wordpress.com milik Tulus. “Paling jauh saya ambil sepeda motor yang mau dimodifikasi dari Tangerang,” ucap Tulus.Bila ada peminat dari luar kota, sepeda motor dikirim via jasa pengiriman barang. Pernah Tulus kedatangan permintaan dari Bandung, Surabaya, dan Bengkulu. Proses memodifikasi sepeda motor memakan waktu antara dua hingga tiga minggu, tergantung kelengkapan bahan dan jenis sepeda motor. “Matik lebih lama karena pengerjaannya lebih rumit dan harus teliti,” kata Tulus. Ketika memodifikasi, ia pun berusaha tidak merombak seluruh bagian sepeda motor. "Sebisa mungkin sepeda motor roda tiga itu bisa dikembalikan ke semula, menjadi sepeda motor roda dua,” tutur bapak satu anak ini. Tulus memasang harga Rp 5 juta hingga Rp 7 juta untuk modifikasi setiap sepeda motor. Harga tergantung jenis sepeda motor dan perlengkapan yang diminta pemesan, seperti kotak penyimpan kursi roda dan lainnya. Saban bulan ia bisa memodifikasi dua hingga tiga sepeda motor. Modifikasi sepeda motor roda tiga ini sebenarnya merupakan pekerjaan sampingan Tulus yang menjadi programmer sebuah produsen peta penerbangan. Untuk menjangkau kantornya di Kemayoran yang berjarak 17 km, ia pun mengandalkan sepeda motor roda tiga. Melihat semakin banyaknya permintaan, Tulus berniat membuka sistem franchise Motor 4 Difabel. Ia ingin menyebarkan bengkel modifikasi sepeda motor roda tiga ini hingga ke luar Pulau Jawa. “Selama ini permintaan dari luar Pulau Jawa terkendala transportasi angkut sepeda motor ke Jakarta,” katanya. Daerah yang dia incar, yakni Lampung dan Palembang. Selain itu, ia ingin ada standardisasi model sepeda motor roda tiga dari Agen Tunggal Pemegang Merek. Tulus juga berharap sosialisasi SIM D khusus orang-orang difabel terus digencarkan kepolisian. Maklum, SIM D baru disosialisasikan sejak awal tahun 2011 di Jakarta. Padahal, di Yogyakarta, sosialisasi sudah dilakukan sejak 2009.