JAKARTA. Anggota Komisi XI DPR, Kemal Azis Stamboel meminta pemerintah untuk menindaklanjuti laporan PPATK secara serius dan menerapkan pelaporan harta kekayaan PNS untuk meminimalkan korupsi birokrasi. “Harus ada upaya serius pemerintah untuk menindaklanjuti temuan ini. Aparat penegak hukum juga perlu dilibatkan. Kita berharap ini akan menjadi bagian penting untuk membenahi birokrasi dan mereduksi korupsi birokrasi secara serius. Jadi harus ada langkah-langkah nyata terkait ini,” tandasnya dalam rilis yang diterima Kontan (1/1).Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selama 2011 mendapatkan laporan transaksi mencurigakan terkait korupsi terhadap 294 nasabah di bank. Dari jumlah tersebut 153 orang atau separuhnya merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebanyak 67 terlapor berasal dari PNS daerah dan 86 terlapor dari PNS Pusat. Sebelumnya PPATK juga melansir 39 PNS bergolongan IIIB dengan usia 28 tahun sampai 38 tahun dengan kekayaan mencurigakan.Kemal juga mendukung rencana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang akan mewajibkan semua PNS untuk melaporkan harta kekayaan. “Pelaporan harta kekayaan seluruh PNS diharapkan akan menjadi bagian upaya pencegahan atau tindakan preventif yang penting. Kekhawatiran terkait masalah bagaimana menangani laporan kekayaan jutaan PNS yang tidak mudah, bisa diselesaikan dengan teknologi informasi yang saat ini sudah maju. Untuk memudahkan akses pelaporan bisa menggunakan sistem IT yang baik tentunya. Selain itu dapat diciptakan software untuk membaca data itu. Jadi tidak akan terlalu sulit untuk menerapkan kewajiban pelaporan ini,” tandas Anggota DPR dari FPKS ini.Berdasarkan data PPATK, sebanyak 42 kasus indikasi korupsi tersebut nominalnya di bawah Rp 1 miliar per transaksi. Sedangkan 70 kasus nominal Rp 1 miliar sampai dengan Rp 2 miliar dan nominal Rp 2 miliar sampai dibawah Rp 3 miliar ada 33 kasus. Untuk nominal Rp 3 miliar sampai di bawah Rp 4 miliar ada 13 kasus, nominal Rp 4 miliar sampai dibawah Rp 5 miliar ada 7 kasus dan Rp 5 miliar ke atas ada 60 kasus.
Tekan korupsi, pelaporan harta kekayaan PNS penting dilakukan
JAKARTA. Anggota Komisi XI DPR, Kemal Azis Stamboel meminta pemerintah untuk menindaklanjuti laporan PPATK secara serius dan menerapkan pelaporan harta kekayaan PNS untuk meminimalkan korupsi birokrasi. “Harus ada upaya serius pemerintah untuk menindaklanjuti temuan ini. Aparat penegak hukum juga perlu dilibatkan. Kita berharap ini akan menjadi bagian penting untuk membenahi birokrasi dan mereduksi korupsi birokrasi secara serius. Jadi harus ada langkah-langkah nyata terkait ini,” tandasnya dalam rilis yang diterima Kontan (1/1).Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selama 2011 mendapatkan laporan transaksi mencurigakan terkait korupsi terhadap 294 nasabah di bank. Dari jumlah tersebut 153 orang atau separuhnya merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebanyak 67 terlapor berasal dari PNS daerah dan 86 terlapor dari PNS Pusat. Sebelumnya PPATK juga melansir 39 PNS bergolongan IIIB dengan usia 28 tahun sampai 38 tahun dengan kekayaan mencurigakan.Kemal juga mendukung rencana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang akan mewajibkan semua PNS untuk melaporkan harta kekayaan. “Pelaporan harta kekayaan seluruh PNS diharapkan akan menjadi bagian upaya pencegahan atau tindakan preventif yang penting. Kekhawatiran terkait masalah bagaimana menangani laporan kekayaan jutaan PNS yang tidak mudah, bisa diselesaikan dengan teknologi informasi yang saat ini sudah maju. Untuk memudahkan akses pelaporan bisa menggunakan sistem IT yang baik tentunya. Selain itu dapat diciptakan software untuk membaca data itu. Jadi tidak akan terlalu sulit untuk menerapkan kewajiban pelaporan ini,” tandas Anggota DPR dari FPKS ini.Berdasarkan data PPATK, sebanyak 42 kasus indikasi korupsi tersebut nominalnya di bawah Rp 1 miliar per transaksi. Sedangkan 70 kasus nominal Rp 1 miliar sampai dengan Rp 2 miliar dan nominal Rp 2 miliar sampai dibawah Rp 3 miliar ada 33 kasus. Untuk nominal Rp 3 miliar sampai di bawah Rp 4 miliar ada 13 kasus, nominal Rp 4 miliar sampai dibawah Rp 5 miliar ada 7 kasus dan Rp 5 miliar ke atas ada 60 kasus.