KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka opsi mengalirkan subsidi ke Pertamax (RON 92) untuk meningkatkan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) beroktan lebih tinggi dan rendah emisi. Seperti diketahui, saat ini subsidi energi masih mengalir pada Pertalite (RON 90) sebagai Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP). Menurut sejumlah pihak termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), salah satu sumber polusi udara di Jakarta berasal dari sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar beremisi tinggi. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyebut saat ini wacana memberikan subsidi ke Pertamax masih dalam pembahasan internal. “(Subsidi ke Pertamax) termasuk yang sedang dibahas,” ujarnya saat ditemui di sela-sela acara The 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM-41), di Nusa Dua Bali, Kamis (24/8).
Dadan mengungkapkan, diskusi secara komprehensif masih dilakukan di dalam kementeriannya. “Kami lagi membahas secara teknis maupun secara regulasi, secara keekonomian karena kan berbeda. Jadi nanti segera ada dari Pak Menteri. Tetapi kami masih membahas di internal,” tandasnya.
Baca Juga: Masalah Polusi Udara Dibahas dalam Ratas, Subsidi Pertamax Bagaimana? Selain dari sektor transportasi, salah satu biang keladi yang disebut-sebut sebagai sumber polusi ialah pembangkit batubara (PLTU) yang mengepung Ibu Kota Jakarta. Perihal masalah ini, Kementerian ESDM mengerahkan tim khusus untuk mengevaluasi PLTU yang ada. “Kami sekarang lagi kirim tim ke lapangan, Pak Menteri meminta untuk melihat mengecek langsung kondisi PLTU kita,” ujarnya. Dadan menjelaskan, sebetulnya emisi PLTU dapat dilihat datanya melalui Kementerian LHK. Sebab emisi yang keluar dari pembangkit batubara datanya sudah langsung diintegrasikan ke dalam sistem milik KLHK. “Jadi berdasarkan standar (emisi) yang ada memang memenuhi (yang ditentukan KLHK). Kita juga lagi lihat, standarnya bagaimana bisa jadi lebih baik,” ujarnya. Menanggapi wacana subsidi Pertamax, Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna justru meragukan apakah tujuan penggeseran subsidi tersebut demi mengurangi emisi. Sebab, mekanisme dasar seperti standar penghematan bahan bakar yang banyak diterapkan negara lain saja tidak diadopsi oleh pemerintah. Dia berpendapat, mendorong penggunaan bahan bakar dengan oktan tinggi seperti Pertamax memang baik. Namun, menurutnya, subsidi hanya diberikan untuk kalangan yang tidak mampu. Artinya harus diperjelas pemberian subsidi tersebut akan diberikan dan ditargetkan untuk masyarakat pada golongan mana. “Terlebih bila tidak dibarengi dengan usaha lain untuk menekan penggunaan BBM, baik distribusi Pertalite yang tepat sasaran maupun perbaikan
fuel economy kendaraan. Jangan hanya fokus memindahkan masalah subsidi, tapi beranikan untuk masuk dari sisi regulasi kendaraan juga,” tutur Putra kepada Kontan.co.id, Jumat (25/8). Lebih lanjut, Putra juga menduga bisa saja rencana membuka opsi mengalirkan subsidi ke Pertamax ini merupakan cara ‘sembuyi’ dari pemerintah untuk menggantikan BBM yang disubsidi dari semula Pertalite menjadi Pertamax. “Kita pernah melihat cara seperti ini sewaktu Pertalite digulirkan sebagai 'jalan tengah' antara Premium dan Pertamax. Pertanyaan berikutnya tentu akan menjadi, bagaimana hitungannya, dan apa rencana paralel lain yang pemerintah tengah rencanakan?. Secara konsumsi pertalite jauh lebih besar, jadi hitungannya akan penting seperti apa,” katanya.
Baca Juga: Bantuan Biaya Konversi Motor Listrik Berpotensi Ditambah Jadi Rp 10 Juta Per Unit Sementara, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, dari sisi fiskal dibutuhkan kesiapan yang matang jika memang pertamax akan disubsidi pemerintah. Hal ini karena, dengan mensubsidi RON yang lebih tinggi tentu akan diperlukan biaya subsidi yang lebih besar untuk setiap liternya. “Nah ini tergantung nanti yang akan diberikan subsidi berapa volumenya, namun tentu ada risiko secara nominal dibandingkan ketika memberikan subsidi kepada RON yang lebih rendah. Jadi ini yang harus diantisipasi dan disiapkan pemerintah,” tutur Komaidi kepada Kontan.co.id, Jumat (25/8). Meski begitu, Komaidi sepakat jika jenis BBM ini diberikan subsidi oleh pemerintah. Karena akan berdampak lebih positif terhadap lingkungan. Selain itu, masyarakat juga bisa dengan leluasa menikmati BBM yang berkualitas dengan harga terjangkau. “Daya beli juga bagus, lingkungan bagus. Tetapi ada risiko fiskal yang harus dihadapi. Saya kira kalau ini disiapkan dengan baik, sama-sama tahu mungkin ini akan lebih baik,” tambahnya. Dia menduga, jika BBM jenis pertamax disubsidi maka opsi BBM yang disubsidi lainnya seperti pertalite akan di hapus. Sehingga kemungkinan masyarakat beralih ke pertamax akan sangat besar. “Harapannya seperti itu, jadi mau tidak mau pasti akan pindah sebagian besar kesana (pertamax). Karena subsidi ini digulirkan kan dalam rangka menghapus RON 90, jadi kalau RON 90 tetap ada untuk apa kemudian memberikan subsidi ke RON 92,” imbuhnya. Hanya saja, Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata menyampaikan, pihaknya belum membahas terkait anggaran untuk subsidi tersebut. Selain itu, Dia juga enggan membeberkan lebih lanjut terkait kesiapan Kemenkeu untuk membuka opsi subsidi Pertamax. “(Terkait anggarannya apakah sudah dibicarakan pak?) belum,” tutur Isa kepada Kontan.co.id, Jumat (25/8).
Baca Juga: Kembangkan Bahan Bakar Hidrogen, Pertamina Gandeng Produsen Otomotif Dunia Dihubungi secara terpisah, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kemenkeu Wahyu Utomo mengatakan, masih akan melihat perkembangan lebih lanjut. “Hingga saat ini pertamax itu melalui mekanisme pasar,” tutur Wahyu. Dia juga menjelaskan, secara konsep BBM itu terdiri dari jenis bahan bakar tertentu (JBT) Solar, Mitan, jenis bahan bakar umum (JBU), Pertamax dan lainnya, serta dan JBKP seperti Pertalite. “Yang memperoleh subsidi adalah yang JBT, sedang Pertalite masih kategori JBKP memperoleh kompensasi karena ditugasi untuk stabilisasi harga,” jelasnya.
Sementara itu, Pertamax termasuk dalam kategori JBU yang didorong melalui mekanisme pasar, sehingga memperoleh subsidi. Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto, memberi catatan bahwa wacana pemberian subsidi pada Pertamax perlu dihitung secara cermat. “Berapa besar tambahan APBN yang dikeluarkan untuk menambah beban subsidi Pertamax tersebut. Hitung-hitungan ini harus akurat,” kata Mulyanto kepada Kontan.co.id (27/8). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .