JAKARTA. Rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi sinyal inflasi akan melaju kencang di tahun ini. Ancaman laju inflasi berdampak signifikan terhadap transaksi di pasar obligasi. Pelaku pasar surat utang terus melepas kepemilikannya sehingga harga instrumen ini tertekan. Indeks Himpunan Pedagang Surat Negara (Himdasun) yang mengukur harga Surat Utang Negara (SUN) tertekan hingga ke posisi terendah selama satu bulan terakhir, yaitu 113,84, Jumat lalu (24/2). Harga SUN seri acuan juga tertekan, sedangkan
yield melesat tajam. Imbal hasil seri SUN acuan bertenor lima tahun FR0060 naik 9,95% ke posisi 5,06%. Sedang harganya tertekan 2% menjadi 105,3.
Yield seri FR0059 yang jadi acuan tenor 15 tahun naik 3,15% ke level 5,96%. Demikian juga untuk seri acuan lain, yaitu FR0058 yang bertenor 20 tahun, harganya tergerus 1,8% sedangkan imbal hasilnya melambung 2,7% ke level 6,4%. Imbal hasil seri acuan tenor 10 tahun, yaitu FR0061, juga naik 2,7% menjadi 5,47%. Transaksi di pasar SUN juga sepi dua pekan terakhir. Data Kementerian Keuangan mencatat, frekuensi transaksi seri
benchmark selama pekan ketiga Februari 2012 rata-rata hanya 741 kali per hari. Biasanya, frekuensi transaksi per hari di atas 800 kali. Virine T. Sundari,
Director Head of Fixed Income OSK Nusadana Securities, menilai, sentimen ancaman inflasi akibat rencana kenaikan BBM jadi pendorong aksi jual oleh pelaku pasar SUN. Di saat yang sama, banyak investor asing mencairkan dana dari obligasi domestik, seiring iklim pasar keuangan global yang membaik. Data pengangguran Amerika Serikat (AS) yang di bawah ekspektasi pasar, ditambah tercapainya kesepakatan penyelesaian utang Yunani, mendorong investor asing kembali berburu aset di pasar global. “Investor asing di sini sudah mengantongi banyak untung. Mereka
profit taking dan mengamankan asetnya ke luar negeri," ujarVirine, Ahad (26/2). Buyback SUN Prediksi Virine, tekanan di pasar SUN masih akan berlangsung hingga pekan-pekan mendatang. "Sampai ada kepastian berapa kenaikan harga BBM sehingga investor bisa mulai mengukur efeknya," jelas Virine. Reza Priyambada,
Managing Research Indosurya Asset Management, memperkirakan, harga obligasi masih cenderung
flat dan kemungkinan besar terkoreksi lagi sepekan mendatang. "Pasar menanti pengumuman tingkat inflasi Februari yang berpotensi menahan reaksi para pelaku pasar," kata Reza. I Made A.S., analis obligasi Nusantara Capital Securities, menghitung, ruang penurunan obligasi bertenor panjang, mencapai 200 basis poin. Sedangkan untuk obligasi bertenor pendek, risiko penurunan harganya mencapai 100 basis poin. "Investor akan melihat seberapa besar BI
rate akan bertahan di level sekarang, di tengah ancaman kenaikan inflasi akibat kenaikan harga BBM," tutur dia. Virine menambahkan, penurunan harga SUN, akibat isu BBM, tidak terlalu dalam. Otoritas moneter dan fiskal yakni Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, diyakini akan menjaga stabilitas harga SUN di pasar. Dengan kata lain, para investor pemegang obligasi negara tidak terancam menanggung rugi penurunan harga SUN.
Akhir pekan lalu, pemerintah menggelar aksi pembelian kembali (
buyback) SUN seri FR0053, hingga harganya kembali stabil. Instrumen berkupon 8,25% itu jatuh tempo pada 15 Juli 2021. Pemerintah membeli kembali seri ini sebanyak 498.207 unit, senilai Rp 498,2 miliar, di harga rata-rata 119,98. Aksi
buyback merupakan strategi menopang harga SUN sekaligus nilai tukar rupiah. "Pemerintah melihat kondisi pasar, apabila dibutuhkan, mereka akan masuk," ujar dia. Ezra N. Ridha,
VP Head of Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia, menduga, tekanan harga SUN yang terjadi kini hanya sementara. “Kenaikan BBM dan inflasi, efeknya negatif bagi harga SUN. Namun itu hanya sementara, karena inflasi akan turun lagi," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie