KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingkat
credit default swap (CDS) 5 tahun Indonesia cenderung mengalami kenaikan dibandingkan akhir tahun 2023. Namun di semester II diperkirakan akan ada penurunan seiring penurunan suku bunga. Berdasarkan data
Bloomberg, CDS 5 tahun Indonesia pada akhir 2023 di 71,99. Sementara per Selasa (23/1) berada di 74,09. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, kenaikan CDS Indonesia didorong oleh ketidakpastian dari China dan Amerika Serikat (AS).
Ketidakpastian dari China berasal dari data perekonomian yang masih belum juga pulih, sehingga terdapat risiko pelebaran defisit dari transaksi berjalan Indonesia di tahun 2024. "Pelebaran ini pada gilirannya berpotensi mendorong kenaikan premi risiko dari nilai tukar rupiah," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (23/1).
Baca Juga: Dana Asing Masuk Rp 7,66 Triliun Pada Pekan Ketiga 2024 Ketidakpastian dari AS bersumber dari masih belum jelasnya timing dari pemtongan suku bunga The Fed. Akibatnya, investor menjadi cenderung ragu untuk masuk ke pasar negara-negara berkembang. "Ketidakpastian tersebut juga yang ikut mendorong pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang bulan Januari ini," sambungnya. Adapun rupiah pada akhir tahun di level Rp 15.399 per dolar AS. Sedangkan per Selasa (23/1) rupiah di Rp 15.643 per dolar AS. Josua memperkirakan, CDS Indonesia masih cenderung flat hingga meningkat terbatas pada semester pertama 2024 ini.
Baca Juga: Modal Asing Mengalir ke Pasar Keuangan Dalam Negeri di Pekan Pertama Januari 2024 Menurutnya, akibat risiko-risiko eksternal yang berpotensi mendorong kenaikan CDS. Sementara di semester II CDS Indonesia akan cenderung mengalami penurunan. Ini sejalan dengan potensi penurunan suku bunga the Fed yang diperkirakan mampu menarik investor asing di Indonesia, sehingga pergerakan CDS menjadi cenderung mengalami penurunan. Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi juga memperkirakan, CDS Indonesia akan tetap stabil hingga akhir tahun ini. Salah satu sentimennya dari pemulihan ekonomi domestik yang terus berlanjut. "Berdasarkan data World Government Bonds, CDS 5 tahun Indonesia per 26 September 2021, berada di level 79,81, mengindikasikan probabilitas default atau gagal bayar sebesar 1,33%," paparnya.
Baca Juga: BI: Arus Modal Asing Masuk Rp 8,61 Triliun pada Pekan Pertama Tahun Ini Dengan kondisi itu, Reza menilai instrumen investasi yang menarik untuk dipertimbangkan antara lain reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap atau obligasi, dan reksa dana campuran. Sementara Josua berpandangan instrumen yang diperkirakan menarik adalah obligasi domestik. "Ini seiring dengan potensi penguatannya pada akhir tahun mendatang, ketika investor asing sudah mulai kembali masuk ke pasar keuangan domestik," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto