KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat utang internasional Moody’s Investor Service memperingatkan risiko gagal bayar (
default) utang perusahaan-perusahaan di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global dinilai menjadi sumber risiko bagi kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utang yang nominalnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy menjelaskan, setidaknya ada dua latar belakang utama dari peningkatan pinjaman oleh perusahaan swasta di Indonesia selama lima tahun terakhir.
Pertama, kebijakan fiskal pemerintah yang ekspansif pada periode ini membuat pembiayaan anggaran pemerintah meningkat. Lantas, penerbitan surat utang pemerintah pun cukup gencar. Di satu sisi, penerbitan surat utang tersebut menambah likuiditas pemerintah untuk pengelolaan APBN.
Baca Juga: Ekonomi dunia melambat, risiko gagal bayar utang korporasi Asia Pasifik meningkat Namun, Yusuf menilai hal ini menjadi tantangan bagi perusahaan dalam mendapatkan pendanaan di dalam negeri. “Perusahaan harus menerbitkan obligasi dengan imbal hasil yang lebih menarik dan ini menyebabkan pada satu titik perusahaan swasta sulit bersaing. Akhirnya, menempuh pinjaman dari luar,” kata Yusuf, Selasa (1/10).
Kedua, faktor suku bunga acuan yang tinggi di dalam negeri. Ketimbang negara tetangga, besaran suku bunga acuan Indonesia relatif tinggi sehingga perusahaan lebih nyaman melakukan pinjaman utang luar negeri (ULN). Menanggapi peringatan Moody’s, Yusuf menilai tantangan kinerja perusahaan memang makin tinggi akibat terpapar efek perang dagang yang mempengaruhi pendapatan perusahaan, terutama di sektor komoditas. “Satu sisi, perusahaan kesulitan ekspor karena kondisi global tidak mendukung. Di sisi lain, harus bayar bunga utang yang terus meningkat. Ini yang kemudian tercatat sebagai potensi risiko utang yang meningkat,” lanjutnya. Belum lagi, tahun depan pemerintah masih akan melakukan ekspansi pembangunan infrastruktur. Artinya, beban penugasan pemerintah pada perusahaan BUMN masih berlanjut. Apalagi, pemerintah juga menginisiasi pemindahan ibu kota dalam lima tahun ke depan. Kendati begitu, Yusuf mengingatkan, sebanyak 73% ULN swasta sebenarnya dimiliki oleh lembaga keuangan bukan bank (LKBB) non-BUMN. Hal ini menurutnya lebih berisiko lantaran perusahaan LKBB tidak memiliki penyangga selayaknya BUMN.
Baca Juga: Moody’s: Indonesia salah satu negara paling rentan gagal bayar utang korporasi Yusuf menilai, ke depan, tantangan pendanaan bagi perusahaan juga masih besar. Perlambatan ekonomi global membuat ancaman resesi di sejumlah negara makin nyata.
“Singapura misalnya, ada di ambang resesi. Padahal Singapura salah satu kreditur terbesar swasta di Indonesia. Resesi di sana akan mempengaruhi kegiatan pendanaan swasta ke depan,” tutur Yusuf. Risiko lainnya, arus investasi pada sektor-sektor perekonomian yang signifikan terhadap pertumbuhan, seperti manufaktur, juga makin lesu. Minimnya investasi berimbas pada pertumbuhan sektor yang menurun yang pada akhirnya menyebabkan industri makin tidak berdaya. “Kalau seperti ini, muara besarnya adalah gejala deindustrialisasi akan semakin terlihat dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi