Tekanan rupiah berat, risiko investasi Indonesia masih rentan naik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi risiko investasi di Indonesia masih berpotensi meningkat dalam beberapa waktu ke depan selama nilai tukar rupiah belum bisa menguat secara berkelanjutan.

Sebagai informasi, Kamis (6/9), credit default swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun berada di level 143,67. Kurang dari sepekan, CDS Indonesia tenor 5 tahun sudah melonjak 16,07%. Bahkan, Rabu lalu (5/9), posisi CDS Indonesia mencapai 148,48 yang merupakan level tertingginya di tahun ini.

Kenaikan juga terjadi pada CDS Indonesia tenor 10 tahun. Hingga Rabu (5/9), CDS Indonesia tenor 10 tahun berada di level 229,83 atau yang tertinggi di tahun ini. Padahal, akhir Agustus lalu CDS Indonesia tenor 10 tahun masih bertengger di posisi 208,83.


Di sisi lain, rupiah sempat menembus posisi terburuknya di pasar spot di level Rp 14.938 per dollar AS pada perdagangan kemarin, walaupun hari ini kembali menguat 0,30% ke level Rp 14.893 per dollar AS.

Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail berpendapat, kalaupun ada ruang bagi CDS Indonesia untuk turun, itu hanya bersifat terbatas. Sebab, tantangan global yang mempengaruhi pergerakan rupiah masih tergolong besar hingga akhir tahun.

“CDS Indonesia untuk tenor 5 tahun sulit kembali di bawah level 100 seperti awal tahun kalau kondisi seperti ini berlanjut,” terang Mikail.

Analis Fixed Income MNC Sekuritas, I Made Adi Saputra bilang, tantangan global yang paling dominan mempengaruhi posisi CDS Indonesia beberapa waktu ke depan adalah perang dagang. Walau pemain utama perang dagang cuma AS dan China, namun efek negatif konflik tersebut turut dirasakan oleh negara-negara lainnya.

Ditambah lagi, China kerap melakukan manuver dengan mendevaluasi mata uangnya supaya produk yang dijual negara tersebut tetap laku kendati dikenai tarif impor yang tinggi. Kebijakan tersebut terbukti membuat mata uang negara-negara emerging market lainnya ikut melemah. “Barang Indonesia yang dijual ke AS juga kurang kompetitif kalau China mendevaluasi mata uangnya,” tambah Made.

Di sini timbul masalah lagi. Adanya potensi hambatan ekspor dapat membuat Indonesia kesulitan mengurangi defisit transaksi berjalan yang sudah mencapai 3% di kuartal II-2018. Padahal, data ini menjadi salah satu indikator terpenting yang menentukan arah rupiah sekaligus persepsi risiko investasi di Indonesia.

Oleh karena itu, Mikail menilai, ada kalanya pemerintah mesti berani menggunakan segala cara agar defisit transaksi berjalan tidak semakin memburuk. Misalnya dengan menarik subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau menunda sejumlah proyek infrastruktur berbahan baku impor tinggi. “Investor asing baru yakin berinvestasi kalau sudah ada langkah konkret pemerintah untuk menurunkan defisit transaksi berjalan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat