JAKARTA. Peluang rupiah untuk menguat di bawah Rp 11.500 per dollar Amerika Serikat (AS) kian sulit terwujud. Soalnya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah diperkirakan kian berat. Penyebabnya, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) kian besar. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, CAD pada triwulan II 2014 mencapai US$ 9,1 miliar atau 4,27% dari produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya pada triwulan I, defisit transaksi berjalan US$ 4,02 miliar atau 2,05% dari PDB. Penyebab utama melebarnya CAD adalah defisit neraca perdagangan yang kian besar, terutama di sektor minyak dan gas (migas). Neraca migas tercatat defisit US$ 3,2 miliar atau naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 2,1 miliar.
Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman berpendapat, kinerja neraca transaksi berjalan akan selalu defisit selama tidak ada kebijakan penting soal minyak. "Pemerintah harus berani menaikkan harga BBM bersubsidi," tutur Juniman, Kamis (14/8). Kenaikan harga ini akan mengurangi pemakaian BBM bersubsidi, sehingga impor minyak pun berkurang. Hingga akhir tahun ini, Juniman memperkirakan defisit transaksi berjalan berada di kisaran 2,9%-3,3% dari PDB. Dampak CAD yang melebar terhadap rupiah, diakui Juniman, sudah diperhitungkan pasar. Karena itu rupiah dalam waktu dekat akan bergerak pada level Rp 11.500-Rp 11.800 per dolar AS. Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, membengkaknya defisit akan berpengaruh terhadap rupiah. Rupiah dalam seminggu ke depan bisa melemah ke Rp 11.700-Rp 11.800 per dollar AS. Lana berharap, pada triwulan III dan IV tahun ini, penyerapan belanja pemerintah serta investasi meningkat tinggi sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik. Defisit menurun Namun, BI mengingatkan agar pelaku pasar tak menyikapi kondisi CAD ini dengan berlebihan. "Defisit yang membengkak pada triwulan II ini memang telah sesuai dengan pola musimannya," tutur Agus. Pada tahun 2013 pun, defisitnya mencapai US$ 10,13 miliar atau 4,47% dari PDB. Selain soal impor minyak yang tinggi, harga komoditas dunia khususnya crude palm oil (CPO), batubara, dan karet belum beranjak naik. Kondisi semester pertama 2014 secara keseluruhan pun disertai permasalahan pelarangan ekspor mineral mentah. Pelarangan ekspor tersebut mempengaruhi kinerja perbaikan transaksi berjalan. "Kalau sudah bisa dilakukan renegosiasi dan ekspor kembali, kami melihat hal tersebut adalah kondisi yang bisa memperbaiki defisit transaksi berjalan," ujar Agus. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, menambahkan, BI juga akan tetap menjalankan kebijakan moneter ketat untuk mengamankan CAD. Kebijakan moneter ketat untuk mengontrol impor sehingga defisit tidak semakin lebar. Bersamaan itu, kondisi CAD juga akan tertolong faktor musiman. Biasanya triwulan III dan IV, CAD mengecil karena kegiatan ekspor melonjak. Ekspor mineral sudah aktif terjadi pada bulan Agustus. BI memperhitungkan kinerja ekspor mineral yang kembali aktif ini akan memberikan tambahan dari sisi ekspor senilai US$ 1,7 miliar pada paruh kedua 2014 ini. Perry menghitung, defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun ini akan sebesar 3,2% dari PDB atau turun tipis dibanding tahun lalu yang sebesar 3,33%. Penurunan defisit ini memang tidak besar karena pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turun.
Sebelumnya BI menargetkan defisit keseluruhan tahun 2014 bisa di bawah 3% dari PDB. Namun, bila dilihat secara nominal, terjadi penurunan defisit yang signifikan. "Secara keseluruhan defisit bisa US$ 27 miliar, lebih rendah dari US$ 29 miliar pada tahun lalu," ujar Perry. Menteri Keuangan Chatib Basri menilai defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun masih bisa turun menjadi sebesar US$ 24 miliar. Ada dua alasan yang menjadikan dirinya tetap optimistis. Pertama, volume bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak bisa ditambah sehingga impor yang melebihi kuota tidak akan terjadi. Kedua, mulai Agustus ini perusahaan tambang sudah bisa melakukan ekspor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia