Tekanan terhadap harga nikel belum akan berakhir



JAKARTA. Kenaikan pasokan yang membayangi fundamental pasar nikel membawa harga terus tergerus. Bahkan harga nikel menyentuh level terendahnya sejak Juli 2016 lalu dan diperkirakan masih akan terkikis setidaknya hingga penutupan akhir pekan nanti.

Mengutip Bloomberg, Kamis (1/6) pukul 12.35 WIB harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange melorot 0,66% ke level US$ 8.910 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Bahkan dalam sepekan terakhir, harga nikel sudah turun 1,43%.

Ibrahim, Direktur PT Garuda Berjangka menuturkan ada bayang-bayang banjirnya pasokan secara global yang menghimpit harga nikel saat ini. Terutama dari dua negara produsen utama nikel yakni Indonesia dan Filipina. Untuk Filipina sendiri dimulai setelah Menteri Lingkungan, Regina Lopez ditolak oleh parlemen.


Padahal seperti yang diketahui, selama beberapa waktu terakhir Lopez adalah aktor kuat dibalik rencana penyelamatan lingkungan dengan mengurangi dan menegaskan aturan pertambangan terutama nikel di Filipina. Dalam 10 bulan terakhir sejak terpilihnya pada 2016 lalu, Lopez sudah menutup 26 tambang yang gagal melewati audit lingkungan dan membatalkan persetujuan aktivitas untuk 75 tambang.

“Jika nantinya menteri yang baru tidak sekeras atau bahkan memiliki kebijakan yang berbeda dengan Lopez, bukan tidak mungkin aktivitas produksi nikel di Filipina kembali melonjak,” ujar Ibrahim. Kekhawatiran akan hal tersebut yang saat ini menjadi katalis utama yang menyeret turun harga nikel.

Tidak hanya itu, relaksasi larangan impor pada bijih nikel yang dilakukan Indonesia sejak Januari 2017 lalu juga mulai menimbulkan kecemasan akan naiknya pasokan global beberapa waktu terakhir. Walau memang untuk saat ini belum diketahui seberapa besar pasokan yang membanjiri pasar global dari Indonesia. Faktor ini bahkan mengarahkan Goldman Sachs Group Inc pada dugaan harga nikel yang akan stagnan di level US$ 9.000 per metrik ton hingga tengah tahun 2018 nanti.

“Sebab diperkirakan akan terjadi penumpukan pasokan dan oversupply sepanjang tahun 2017 ini mengingat permintaan pun tak kunjung membaik,” kata Ibrahim.

China, salah satu konsumen utama logam industri termasuk nikel dinilai sedang bergelut dengan perlambatan ekonominya. Dengan kekhawatiran ekonomi China yang melambat maka permintaan nikel pun diprediksi ikut menipis.

Tidak hanya itu, rencana agresif di sektor manufaktur dan infrastruktur yang dicanangkan Donald Trump, Presiden AS selama masa kampanyenya sampai saat ini belum terealisasi. Maka wajar belum ada suntikan tenaga bagi nikel untuk sementara waktu.

“Kans harga nikel turun lagi pada Jumat (2/6) masih terbuka lebar, hanya saja rentangnya bisa menyempit,” tebak Ibrahim. Pasalnya penurunan yang sudah cukup signifikan ini bisa memicu terjadinya aksi bargain hunting pada harga nikel dan itu bisa membawa pada rebound jangka pendek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie