Tekanan terhadap rupiah sulit dihindari



JAKARTA. Setiap tahun, triwulan II adalah periode waspada terhadap stabilitas makro ekonomi. Di periode ini, current account deficit (CAD) atawa defisit transaksi berjalan diperkirakan bakal membengkak karena repatriasi aset atau dividen berikut pembayaran utang luar negeri (ULN) jatuh tempo.

Berbagai tekanan tersebut akan membuat nilai tukar rupiah tertekan. Tahun lalu, CAD di triwulan kedua mencapai US$ 8,94 miliar atau 3,97% dari produk domestik bruto (PDB). Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter perlu serius mengantisipasi risiko tersebut.

Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Agustinus Prasetyantoko mengatakan, risiko besar yang terjadi pada Mei dan Juni adalah problem struktural. Karena banyak perusahaan asing yang membayar dividen ke luar negeri, sehingga sulit jika ditimpakan pada sisi moneter saja.


Yang perlu dilakukan otoritas bank sentral adalah memastikan tidak adanya gejolak dari sisi arus modal yang masuk. "Makanya suku bunga tetap ketat," ujarnya, Senin (11/5). Dari sisi utang luar negeri jatuh tempo, BI perlu terus menghimbau perusahaan swasta melakukan lindung nilai atau hedging.

Sebenarnya permasalahan dividen sudah diberikan jalan keluar oleh pemerintah dengan masuknya unsur reinvestasi aset dalam fasilitas tax allowance. Akan tetapi yang paling penting bagi investor adalah iklim bisnis yang kondusif. Kalaupun tidak ada fasilitas pajak, namun ekonominya kondusif, dengan sendirinya perusahaan akan melakukan investasi kembali.

Sayangnya, kebijakan ini baru bisa dirasakan berlaku efektif pada periode kedua tahun depan. Lantaran aturannya sendiri baru berlaku pada awal Mei ini. Alhasil, Prasetyantoko melihat, laju nilai tukar rupiah dalam waktu dekat akan cenderung tertekan ke arah Rp 13.000 per dollar Amerika Serikat (AS).Hingga akhir tahun, nilai tukar rupiah akan berada pada level Rp 13.200 per dollar AS.

Senada dengan Prasetyantoko, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat pembengkakan CAD di triwulan II sulit dicegah karena pola musimannya sudah terbentuk hingga saat ini. Faktor lain penyebabnya ialah tingginya impor menjelang hari raya Lebaran.

Antisipasi yang harus dilakukan BI adalah memastikan suplai dollar tersedia karena saat ini masih sulit jika berharap pada sisi ekspor. Pemerintah juga bisa mempercepat penerbitan global bond yang belum diterbitkan, seperti global sukuk.

Penerbitan global bond akan membantu mempertebal pundi-pundi cadangan devisa sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap rupiah. Sementara itu, yang juga harus dilakukan adalah pemerintah mempercepat realisasi belanjanya. "Investor perlu melihat komitmen serius pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur," paparnya.

Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs menuturkan, bagi BI, keluarnya beleid yang mengatur prinsip kehati-hatian dalam mengelola utang luar negeri swasta melalui lindung nilai atau hedging sejak awal tahun telah membantu mengurangi tekanan. BI dalam hal ini sudah mendorong korporasi untuk hedging dengan dana yang dipersiapkan sejak lama.

Tetapi dari sisi cadangan devisa, BI tidak menargetkan jumlah nominal tertentu pada cadangan devisa. Saat ini cadangan devisa US$ 110,8 miliar. "Kami mengatur cadangan devisa yang ada," katanya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie