KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memutuskan untuk mengambilalih pengelolaan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Pengelolaan kilang TPPI akan dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) yang akan menguasai 51% saham PT Tuban Petrochemical Industries (TPI), induk usaha TPPI. Tahap awal, Pertamina menandatangani
Head of Agreement (HoA) dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Penandatanganan HoA dilakukan pada Rabu (15/8). Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina, Gigih Prakoso menjelaskan penandatangan HoA antara Pertamina dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) adalah kerjasama antara Pertamina dan Kemkeu untuk membangun industri petrokimia nasional melalui restrukturisasi PT TPI.
"Melalui restrukturisasi ini, Kemkeu akan melakukan konversi tagihannya dalam bentuk multiyears bond ke saham TPI sehingga saham Pemerintah di TPI akan meningkat dari posisi saat ini 70%," jelas Gigih kepada Kontan.co.id Minggu (19/8). Setelah itu, TPI akan melakukan
right issue saham baru agar Pertamina bisa masuk menjadi pemegang saham di TPI. Pasca right issue, Pertamina akan memiliki 51% saham di TPI dan pemerintah serta pemegang saham lainnya menjadi 49%. "Saham pemilik lama akan menjadi sangat kecil dan sekitar 49% dipegang oleh pemerintah,"ungkap Gigih. Namun Gigih belum bisa menyebut besaran nilai 51% saham PT TPI yang akan dikuasai oleh Pertamina. Menurutnya, valuasi TPPI masih akan dihitung oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). "Valuasi belum dilakukan. Tapi nanti akan dilakukan valuasi secara independen oleh KJPP pada saat konversi dan
right issue penerbitan saham baru TPI,"katanya. Untuk jadwal konversi utang dan
right issue, Gigih menyebut rencananya akan dilakukan minimal dalam enam bulan ke depan. Ini lantaran pemerintah harus menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) terlebih dahulu. Jika nantinya Pertamina telah resmi memegang 51% saham TPI, maka Pertamina berencana untuk mengembangkan anak usaha TPI untuk menjadi pusat bisnis petrokimia. Anak usaha TPI terdiri dari TPPI, Polytama Propindo, dan PON. "Sehingga TPPI akan menjadi pusat bisnis petrokimia yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Polytama akan dikembangkan dengan meningkatkan kapasitas produksi polypropilene untuk industri plastik," ungkap Gigih. Menurut Gigih, pengembangan TPPI akan dilakukan dengan membangun naphtha cracker dengan kapasitas 1 juta ton per tahun dan produk-produksi hilir dari Olefin. Total belanja modal untuk pengembangan anak usaha TPI terutama untuk pembangunan kompleks
naphtha cracker dan produk-produk turunannya diproyeksi mencapai sekitar US$ 4-5 miliar. Kilang penuh masalah Asal tahu saja, TPPI merupakan kilang yang sarat masalah. Antara lain terkait kasus korupsi kondensat. Kasus korupsi TPPI berawal dari penunjukan PT TPPI oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi/BP Migas (sekarang disebut SKK Migas) untuk mengelola kondensat pada periode 2009-2011. Padahal penunjukan langsung PT TPPI melanggar Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS 20/BP00000/2003-S0 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjualan Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara. Lebih parah lagi, TPPI sudah bisa mengelola kondensat dari BP Migas pada Mei 2009 atau sebelum kontrak dibuat.
Berdasarkan penghitungan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), kasus korupsi TPPI ini telah merugikan negara sebesar US$ 2,716 miliar. Namun hingga saat ini kasus korupsi TPPI jalan di tempat karena menungu ditangkapnya Direktur PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratno. Hingga saat ini, keberadaan Honggo belum diketahui. Selain Honggo, penegak hukum juga telah menahan dua tersangka kasus korupsi ini yaitu Kepala BP Migas Raden Priyono dan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Akibat kasus korupsi ini pula, TPPI berutang kepada banyak kreditur termasuk pemerintah. Total utang TPPI pada 2012 yang dicatatkan PT Perusahaan Pengelola Aset mencapai Rp 17,88 triliun kepada 362 kreditur. Utang terbesar TPPI kepada PT Pertamina dengan nilai Rp 6,57 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi