KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara berupa fly ash telah terkonsentrasi menjadi bahan baku semen menyusul penerapan teknologi Electrostatic Precipitator (ESP). Ahli Emisi Udara dari Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Anton Irawan, mengatakan rata-rata PLTU telah dipasangi ESP. Hasil penyaringan fly ash dengan ESP mencapai 99,5% sehingga tidak beterbangan. “Hasil penyaringan emisi tersebut (fly ash) juga berguna sebagai bahan baku semen. Fly ash telah menjadi nilai tambah, jadi memang telah sangat ramah lingkungan,” ujarnya, Selasa (22/8/2023).
Baca Juga: Indonesia Raih Dana US$ 500 Juta untuk Suntik Mati PLTU Batubara Dapat dilihat dari perbedaan asap yang dikeluarkan oleh PLTU hasil dari penyaringan emisi tersebut. “Kini pengelolaan pembangkit listrik berbasis batu bara di Tanah Air sudah baik, dan yang tersisa adalah bagaimana pemantauannya oleh pemerintah agar emisi udara ambien tetap di bawah baku mutu emisi sesuai PP No. 22/2021 pada lampiran VII,” ungkapnya. Saat ini, banyak PLTU yang memperoleh penghargaan patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Kini, pembangkit listrik berbasis batu bara tidak seharusnya terus-menerus dijadikan kambing hitam. Apalagi dianggap sebagai musuh. Semua sudah memenuhi standar internasional.” Selain itu, Anton menekankan, studi yang dilakukan kini menunjukkan bahwa tidak ada emisi yang menuju Jakarta pada bulan Juli-Agustus. “Pada Juli-Agustus tahun ini, angin sedang berarah ke Samudra Hindia. Jadi sangat tidak mungkin menuju Jakarta dengan jarak yang lebih dari 100 km.”
Baca Juga: Darurat Bencana Polusi Udara Menurutnya, kajian CREA mengabaikan sektor-sektor lain dalam pemodelannya seperti sektor transportasi dan industri. “Telah banyak studi yang menyebutkan transportasi sebagai penyebab utama polusi udara,” kata Anton yang merupakan ahli di bidang bahan bakar padat.
CREA, menurutnya, menggunakan pemodelan kualitas udara dengan Calpuff. “Perangkat lunak tersebut biasanya digunakan untuk mengukur jarak dekat, tidak lebih dari radius 100 kilometer,” terang Prof. Anton. Jika digunakan untuk jarak lebih dari 100 kilometer, maka hasil yang didapatkan memerlukan perangkat komputasi yang handal. “Saya menduga hasilnya kurang valid. Mereka mengukur sampai Bandung. Jarak PLTU yang diukur hingga Bandung itu hampir 250 kilometer.” Jadi, menurut Anton, perlu investigasi lebih mendalam mengenai sumber emisi yang menyebabkan penurunan kualitas udara di Jakarta. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli