KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pavel Durov, pendiri dan CEO Telegram, kembali menjadi sorotan internasional setelah penahanannya di Paris. Penahanan ini memicu berbagai reaksi dari komunitas internasional, termasuk tuduhan serius yang dilayangkan terhadap Durov terkait penggunaan Telegram untuk kegiatan ilegal.
Latar Belakang Penahanan
Pavel Durov, yang lahir di Rusia, dikenal sebagai salah satu tokoh teknologi paling berpengaruh di dunia. Setelah sukses mendirikan VKontakte (VK), jejaring sosial terbesar di Rusia, ia kemudian meluncurkan Telegram pada tahun 2013, sebuah aplikasi pesan instan yang dikenal karena fitur enkripsinya.
Pada tanggal 25 Agustus 2024, Durov ditahan di Bandara Le Bourget, Paris, saat tiba dari Baku, Azerbaijan. Penahanan ini terjadi setelah adanya surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Kantor Perlindungan terhadap Kekerasan Anak Prancis (OFMIN), yang sedang menyelidiki dugaan keterlibatan Durov dalam berbagai tindak kriminal. Durov dituduh gagal mencegah penyalahgunaan platformnya untuk kegiatan kriminal, termasuk penipuan, perdagangan narkoba, perundungan siber, kejahatan terorganisir, dan promosi terorisme. Tuduhan ini berkaitan dengan dugaan bahwa Telegram menjadi sarana bagi berbagai aktivitas ilegal, mengingat sifatnya yang terenkripsi dan sulit dilacak. Dalam pernyataannya, Telegram menegaskan bahwa mereka mematuhi hukum Uni Eropa, termasuk Digital Services Act, dan bahwa Durov tidak memiliki sesuatu yang disembunyikan.
Baca Juga: Ini Alasan CEO Telegram Pavel Durov Ditangkap di Prancis Reaksi Internasional dan Tekanan Diplomatik
Penahanan Durov memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Pemerintah Rusia mengkritik Prancis atas kurangnya kerja sama dalam memberikan akses konsuler kepada Durov, yang juga memegang paspor Prancis. Selain itu, tokoh-tokoh penting seperti Elon Musk dan Edward Snowden ikut menyuarakan dukungan mereka untuk Durov. Musk, melalui platform X (sebelumnya Twitter), mengampanyekan tagar #FreePavel, sementara Snowden mengecam penahanan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia dasar. Kasus ini juga memunculkan isu seputar kewarganegaraan Durov, yang memiliki beberapa kewarganegaraan termasuk Prancis dan Rusia. Pemerintah Prancis, dalam hal ini, menganggap kewarganegaraan Prancis sebagai kewarganegaraan utama Durov, yang memberi dasar hukum untuk penahanannya tanpa melibatkan pemerintah Rusia. Sikap ini semakin memperkeruh hubungan diplomatik antara kedua negara.
Implikasi Hukum dan Masa Depan Telegram
Perkembangan kasus ini berpotensi membawa dampak signifikan terhadap Telegram sebagai platform dan Durov sebagai tokoh utamanya. Dalam beberapa tahun terakhir, Telegram telah menjadi pilihan utama bagi mereka yang mengutamakan privasi dan kebebasan berekspresi. Namun, penahanan Durov dan tuduhan terhadapnya menimbulkan pertanyaan tentang masa depan Telegram dan bagaimana perusahaan tersebut akan menavigasi tekanan hukum dan regulasi yang semakin ketat di berbagai negara.
Jika tuduhan terhadap Durov terbukti, Telegram bisa menghadapi risiko penutupan atau pembatasan akses di beberapa negara, terutama di Uni Eropa yang semakin memperketat aturan terhadap platform digital. Hal ini akan menjadi pukulan besar bagi Telegram, yang selama ini mengklaim sebagai benteng terakhir kebebasan digital.
Baca Juga: Elon Musk Bela CEO Telegram Pavel Durov Pasca Penangkapan di Prancis Strategi Hukum dan Pertahanan Telegram
Saat ini, Telegram berkomitmen untuk melindungi privasi penggunanya dan menolak memberikan akses ke data pribadi, meskipun mendapat tekanan dari pemerintah berbagai negara. Telegram mungkin akan mengadopsi strategi hukum agresif untuk mempertahankan posisinya, sambil mencoba memperkuat kepatuhan terhadap regulasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang telah membuat platform ini populer.
Editor: Handoyo .