JAKARTA, Terkait dengan banyaknya aduan publik, Kementrian Komunikasi dan Telematika (Kominfo) melakukan pengendalian melalui sosialisasi dan edukasi teknologi. Sejak dibukanya layanan aduan publik oleh Kementrian Kominfo dalam konten negatif di internet dan media sosial. Kementrian Kominfo sudah berupaya dalam melakukan pengendalian. Dalam merangkul para penyedia layanan media sosial, Kementrian Kominfo bersama dengan Direktur Jendral Aplikasi Informatika melakukan pertemuan langsung dengan sejumlah penyedia layanan media sosial seperti Telegram, Facebook, Twitter, dan Google. Kementrian Kominfo memilih 4 penyedia layanan tersebut karena banyaknya aduan yang dilayangkan kepada Kementrian Kominfo berasal dari penyedia layanan tersebut. Dari penyedia-penyedia layanan tersebut aduan masyarakat berisikan macam-macam, mulai dari konten hingga akun tertentu. Berbagai langkah persuasi dan langkah tegas yang dilakukan Kementrian Kominfo terhadap penyedia layanan media sosial sudah menghasilkan responsitivitas rata-rata 55%. Dari aduan yang dilayangkan oleh masyarakat, sudah lebih dari setengah aduan tersebut di blokir atau diturunkan (take down). Dari lima penyedia layanan media sosial terbesar di Indonesia, Telegram memberikan respon paling tinggi sebesar 93,3% dengan memblokir sejumlah konten negatif di saluran publik yang dimiliki oleh Telegram. Untuk Instagram, Facebook, dan Youtube rata-rata memberikan respon sebesar 55% dengan merespon konten negatif yang tayang di aplikasi mereka. Sedangkan Twitter baru merespon sebesar 22,5% dari aduan publik. Saat ini Kementrian Kominfo masih perlu meneliti lebih jauh mengenai pengaduan publik, apakah jumlah pengaduan publik atas konten negatif berkorelasi dengan jumlah konten negatif yang masih beredar di internet dan dunia maya. Pada Januari 2017 jumlah aduan berbau konten Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) mencapai jumlah 5.142 bersamaan dengan Pilkada DKI Jakarta. Jumlah aduan ini sempat mengalami penurunan namun kembali naik ketika momentum Pilkada DKI Jakarta di bulan April dan Mei.
Telegram sudah blokir 93% konten negatif
JAKARTA, Terkait dengan banyaknya aduan publik, Kementrian Komunikasi dan Telematika (Kominfo) melakukan pengendalian melalui sosialisasi dan edukasi teknologi. Sejak dibukanya layanan aduan publik oleh Kementrian Kominfo dalam konten negatif di internet dan media sosial. Kementrian Kominfo sudah berupaya dalam melakukan pengendalian. Dalam merangkul para penyedia layanan media sosial, Kementrian Kominfo bersama dengan Direktur Jendral Aplikasi Informatika melakukan pertemuan langsung dengan sejumlah penyedia layanan media sosial seperti Telegram, Facebook, Twitter, dan Google. Kementrian Kominfo memilih 4 penyedia layanan tersebut karena banyaknya aduan yang dilayangkan kepada Kementrian Kominfo berasal dari penyedia layanan tersebut. Dari penyedia-penyedia layanan tersebut aduan masyarakat berisikan macam-macam, mulai dari konten hingga akun tertentu. Berbagai langkah persuasi dan langkah tegas yang dilakukan Kementrian Kominfo terhadap penyedia layanan media sosial sudah menghasilkan responsitivitas rata-rata 55%. Dari aduan yang dilayangkan oleh masyarakat, sudah lebih dari setengah aduan tersebut di blokir atau diturunkan (take down). Dari lima penyedia layanan media sosial terbesar di Indonesia, Telegram memberikan respon paling tinggi sebesar 93,3% dengan memblokir sejumlah konten negatif di saluran publik yang dimiliki oleh Telegram. Untuk Instagram, Facebook, dan Youtube rata-rata memberikan respon sebesar 55% dengan merespon konten negatif yang tayang di aplikasi mereka. Sedangkan Twitter baru merespon sebesar 22,5% dari aduan publik. Saat ini Kementrian Kominfo masih perlu meneliti lebih jauh mengenai pengaduan publik, apakah jumlah pengaduan publik atas konten negatif berkorelasi dengan jumlah konten negatif yang masih beredar di internet dan dunia maya. Pada Januari 2017 jumlah aduan berbau konten Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) mencapai jumlah 5.142 bersamaan dengan Pilkada DKI Jakarta. Jumlah aduan ini sempat mengalami penurunan namun kembali naik ketika momentum Pilkada DKI Jakarta di bulan April dan Mei.