Telepon seluler akan dikenakan pajak barang mewah!



JAKARTA. Telepon seluler (ponsel) yang memiliki teknologi tinggi, atau yang sering disebut sebagai smart phone rencananya akan dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM).

Menurut Plt Kapala Badan Kebijakan FIskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, selama ini ponsel berjenis smart phone dikategorikan bukan barang mewah. Bambang menjelaskan, dilihat dari jenis barangnya, smart phone merupakan barang yang sudah seharusnya dikategorikan sebagai barang mewah. Sebab, semua komponen yang terdapat dalam smart phone berasal dari impor. Karena akan dikategorikan sebagai barang mewah, maka Pemerintah nantinya akan membuat kategorisasi dari smart phone tersebut. "Bisa dilihat dari tingkat teknologinya, seperti pada mobil itu menggunakan CC," ujar Bambang. Seperti diketahui, Pemerintah berencana akan merevisi Peraturan Pemerintah mengenai PPnBM. Hal itu dilakukan untuk memperbaiki neraca perdagangan yang selama ini terus defisit. Dengan dikenakan tarif PPnBM, maka diharapkan jumlah impor smart phone bisa ditekan. Sayang, Bambang tidak menjelaskan berapa potensi pengurangan defisit dari pengurangan impor smartphone ini. Selain akan menekan impor, jika smart phone dikategorikan sebagai barang mewah, maka akan memberikan pembelajaran kepada masyarakat bahwa produk itu bukan barang konsumtif. 

"Smartphone ini merupakan barang mewah yang konsumtif, seharusnya bisa lebih produktif," katanya. Dalam aturan itu, Pemerintah juga akan menaikkan tarif PPnBM untuk barang yang dikategorikan mewah dari maksimal 75% menjadi 125 hingga 150%.


Bambang mengaku, saat ini pembahasan aturan ini sedang dilakukan, dan ditargetkan tahun ini sudah selesai dibuat aturannya. Ekonom Universitas gajah Mada, Tony Prasetyantoko mengatakan, Indonesia memang salah satu pasar potensial bagi produk jenis smart phone. Bila dikategorikan sebagai barang mewah dan akan dikenakan PPnBM, maka harga jual smart phone di Indonesia akan ikut naik. Dengan begitu permintaan bisa terpengaruh. "Ini bisa saja membuat impor berkurang, tetapi tidak cukup ini saja, implementasi kebijakan impor harus bisa terlaksana supaya neraca perdagangan benar-benar membaik," ujar Tony.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan