Temasek akan menjual obligasi ke investor ritel



SINGAPURA. Temasek Holdings Pte mengintip peluang baru dalam menghimpun pendanaan. Perusahaan investasi milik pemerintah Singapura ini menjajaki penawaran obligasi untuk investor individu di negara tersebut.

Jurubicara Temasek, Stephen Forshaw, menyatakan penerbitan produk pendapatan tetap akan memberikan alternatif peluang investasi bagi para investor yang mencari imbal hasil stabil dengan risiko relatif rendah.

Jika rencana ini terwujud, maka Temasek mengikuti jejak Singapore Airlines Ltd, Genting Singapore Plc dan Fraser & Neave Ltd, yang telah menjual obligasi ke investor ritel.


Sejatinya, Temasek telah memiliki program penerbitan surat utang jangka menengah (medium term note) senilai US$ 10 miliar. Surat utang ini biasanya ditawarkan kepada investor institusi. Obligasi tersebut mendapatkan peringkat teratas dari Standard & Poor’s Ratings Services dan Moody’s Investors Service sejak tahun 2004, menurut laporan tahunan Temasek yang dipublikasikan pada Juli tahun lalu.

"Temasek memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan emiten penerbit obligasi lain," ungkap Marie-Anne Garcia, Analis Kredit Oversea-Chinese Banking Corp di Singapura, Selasa (7/1). Menurut dia, Temasek bakal menawarkan sarana berinvestasi yang lebih luas kepada investor ritel.

Aset Temasek naik menuju rekor tertinggi menjadi S$ 215 miliar atau US$ 169 miliar, per tahun fiskal yang berakhir Maret 2013. Pencapaian tersebut dipicu gairah di pasar saham, yang mendongkrak pertumbuhan imbal hasil (return) Temasek hampir enam kali lipat.

Nilai kepemilikan Temasek meningkat 8,6% per Maret 2013 dari sebelumnya S$ 198 miliar. Adapun imbal hasil total pemegang saham, termasuk dividen, melonjak menjadi 8,9% dibandingkan tahu sebelumnya sebesar 1,5%.

Sejak berdiri pada tahun 1974, rata-rata return pemegang saham perusahaan investasi ini sebesar 16%. Rata-rata return tiga tahun terakhir sebesar 4,9%, sementara rata-rata return selama 10 tahun terakhir mencapai 13%.

Temasek menginvestasikan sebagian besar asetnya ke pasar saham. Nilai pasar kepemilikannya bisa naik atau turun lebih dari 30% selama periode volatil seperti saat krisis keuangan global.

"Kami menyadari bahwa kesempatan dan kondisi pada masa lalu tidak mungkin terulang dalam masa-masa yang akan datang," ungkap Forshaw. Selain itu, ada risiko struktural global yang masih mengancam.

Editor: Sandy Baskoro