KONTAN.CO.ID - Sekelompok ibu-ibu tampak sibuk mengolah kedelai di sebuah pendopo kantor Desa Geneng, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Namun, jangan bayangkan pendopo terbuka dengan empat pilar penyangga atap, pendopo tersebut telah direnovasi menjadi ruang usaha. Ya, pendopo ini telah disulap menjadi pusat produksi tempe. Ada 12 perempuan yang menjadi perajin tempe di sini. Mereka memproduksi tempe dengan merek Echo Sari. Pusat produksi ini baru dibuka bulan April tahun 2017 lalu. Usaha pembuatan tempe ini merupakan aksi corporate social responsibility (CSR) PT Sarihusada Generasi Mahardhika.
Ada tiga ruangan yang dipakai untuk tempat produksi. Saat KONTAN berkunjung ke lokasi beberapa waktu lalu, ruangan tersebut dibagi menjadi ruang produksi basah alias ruang pemasakan kedelai, ruang peragian, dan ruang pengemasan. Meski nampak sederhana, aliran pembuangan limbah atau air kotor cukup memadai. Perajinnya pun menggunakan sepatu khusus serta masker dan apron dalam proses produksi. Suhu udara diruang peragian dijaga tetap dalam kondisi hangat untuk memastikan ragi dalam tempe bisa berfermentasi dengan sempurna. Dapat dikatakan, tempat dan proses pembuatannya cukup higienis. Berbeda dengan lokasi sentra produksi tempe lainnya, para perajin di sana adalah perempuan yang sebelumnya merupakan ibu rumah tangga. Sekarang ada sekitar 12 orang perempuan yang menjadi perajin tempe tetap dan 20 orang perajin tempe musiman. Agung Saputro, Kepala Desa Geneng mengatakan, pemberdayaan hanya kaum wanita ini karena karena dibutuhkan ketelatenan dalam proses pembuatan tempe. Selain itu, ketrampilan ini juga bisa memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selly Marfiana salah satu perajin menjelaskan bila tempe buatan Desa Geneng merupakan tempe premium karena melalui proses produksi yang higienis serta memperhatikan kualitas bahan baku. Alhasil, tempe Echo Sari ini masih enak dikonsumsi hingga tiga hari meski disimpan dalam suhu ruangan. Rasanya pun lebih gurih dengan biji-biji kedelai yang besar. Jika dgoreng, warna tempe ini kuning keemasan. Kemasan juga dibuat lebih menarik. Ada yang dibungkus siap saji, atau sudah berupa potongan kecil. Ada pula bungkus besar yang dijual Rp 3.000 per bungkus. Dalam sehari total produksinya baru mencapai puluhan kilogram. Hasilnya dijual ke pasar-pasar lokal. "Kami belum berani kirim ke luar kota karena tingkat ketahanan yang terbatas," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan, mereka menerapkan sistem pre order. Biasanya pemerintah setempat, perusahaan swasta, hingga perseorangan akan melalukan pemesanan jauh-jauh hari bila ingin memesan dalam jumlah banyak. Selain itu, saat menjelang hari raya Idul Fitri permintaan tempe akan meningkat hingga dua kali lipat. Kebanyakan pembelinya adalah warga yang merantau. Tempe dijadikan buah tangan saat kembali ke kota.
(Bersambung) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Johana K.