Para perajin tempe dan tahu di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sangat menjaga kebersihan lingkungannya. Saat KONTAN menyambangi sentra ini, tidak ada bau-bau aneh yang mengganggu penciuman. Siti, salah satu perajin tempe di sentra ini, bilang, lokasi mereka tidak bau karena air bekas rebusan kacang kedelai maupun bekas pencucian langsung dibuang ke saluran air. "Kalau kulitnya kita kumpulin, nanti ada yang ambil untuk dijadikan makanan ternak," kata dia. Kebersihan selalu dijaga agar konsumen tidak ragu untuk membeli tempe dari mereka. Bila kebersihan tidak dijaga tempat ini tentu sangat bau karena setiap hari selalu memproduksi tempe.
Menurut Siti, para perajin tempe tidak pernah libur. Setiap hari mereka memproduksi sesuai kapasitas masing-masing. Pemasaran tahu dan tempe juga dilakukan sendiri oleh para perajin. "Semua perajin di sini memasarkan sendiri hasil produksi," kata Siti. Sebagian besar perajin di sentra ini hanya memproduksi tempe. Pasalnya, mengolah tempe lebih mudah dan pasarnya lebih banyak ketimbang tahu. "Membuat tahu itu repot," kata Siti. Beda dengan tempe yang tergolong ringkas. Dalam memproduksi tempe, kedelai tinggal direndam, direbus, lalu digiling untuk membuka kulitnya. Setelah itu dibersihkan, dikasih ragi dan dicetak. "Pokoknya dalam empat hari sudah jadi tempe," ujarnya. Siti menjual tempe buatannya di Pasar Buncit, tak jauh dari tempat tinggalnya. Ia berjualan dari pukul 5.30 WIB dengan membuka lapak. "Saya memasang meja di pasar untuk berjualan," ucapnya. Ia harus membayar sewa tempat jualan sebesar Rp 150.000 per bulan. Sepulang dari pasar, ia kembali memproduksi tempe. Begitu terus rutinitasnya setiap hari. Siti mengaku semua hasil produksinya selalu habis karena sudah memiliki pelanggan tetap. Bila ada pelanggan tambahan baru ia menambah produksi lagi. Perajin tempe lainnya, Rasmono, juga menjual tempe hasil produksi ke Pa-sar Buncit. Dia juga berjualan setiap pagi. "Pulang dari sana baru produksi lagi,” katanya. Setiap hari, Rasmono bisa menghabiskan 40 kilogram (kg)–80 kg kacang kedelai untuk dijadikan tempe dalam beberapa ukuran. Selain menjual langsung ke Pasar Buncit, sesekali ia juga memasok tempe ke salah satu gerai ritel di Jakarta. Bila sedang ada permintaan dari ritel langganannya, produksinya bisa mencapai 80 kg kedelai. "Tapi kalau tidak ada produksi hanya sekitar 40 kg," tuturnya.
Tidak semua perajin memasarkan tempe buatannya di Pasar Buncit. Wiharjo, perajin tempe lainnya, mengaku memasarkan tempe buatannya di Pasar Otista, Jakarta Timur. Setiap hari ia menjajakan tempe di atas motornya yang sudah dipasangi papan berbentuk meja. Seperti halnya Siti, ia pun sudah memiliki pelanggan sendiri. Untuk menghadapi persaingan di pasar, Wiharjo berusaha memberi pelayanan yang ramah kepada pembeli dan juga memainkan harga. "Saya kadang jual sedikit lebih murah dari yang lain," ujarnya. Sementara, Siti tidak mau menurunkan harga karena takut nanti kualitas tempenya dianggap kurang bagus. (Bersambung) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri