KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang kembali mencuat turut menekan pasar surat utang dalam negeri. Mengutip Bloomberg, Selasa (19/6) pukul 17.00, posisi
credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun melonjak 6,53% ke level 138,052. Ini merupakan level tertinggi CDS tenor lima tahun sejak April 2017. Setali tiga uang, CDS Indonesia tenor sepuluh tahun juga naik ke level tertinggi sejak Februari tahun lalu. Posisi CDS tenor sepuluh tahun merangkak 2,05% ke level 212,820. Seiring dengan naiknya persepsi risiko investasi dalam negeri,
yield Surat utang Negara (SUN) seri acuan 10 tahun berada di level 7,28%. Posisi ini naik 0,31% dari
yield SUN pada perdagangan Jumat (8/6) lalu.
Analis Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia Anil Kumar menjelaskan, perang dagang menjadi faktor utama di balik naiknya risiko investasi di Indonesia saat ini. "Ketegangan kembali meninggi dan pelaku pasar kembali diselimuti ketidakpastian. Tidak pasti kapan isu ini akan berakhir dan akan sebesar apa dampaknya bila berlangsung terus menerus," ujar Anil, Selasa (19/6). Terbukti, imbal hasil surat utang AS atau US Treasury hari ini justru ikut tercatat menurun 1,38% ke level 2,88%. Menurut Anil, ini membuktikan tekanan pada pasar surat utang Indonesia lebih besar berasal dari sentimen perang dagang ketimbang sentimen suku bunga acuan The Federal Reserve yang dinaikkan pekan lalu. Tak hanya di Indonesia, CDS negara
emerging market lainnya juga ikut terkerek. Tengok saja, CDS Turki tenor lima tahun lompat 4,45% ke level 336,088. Ini merupakan level CDS Turki yang tertinggi dalam kurun dua setengah tahun terakhir atau sejak September 2015. Sementara, CDS Afrika Selatan melonjak sebesar 5,58% ke level 232,790. Posisi CDS Afrika Selatan ini jadi yang paling tinggi sejak Desember 2016. Anil menambahkan, aksi saling balas tarif yang terjadi antara AS dan China berisiko memberi imbas buruk pada perdagangan dan perekonomian global. Akibatnya, pasar berpotensi kehilangan likuiditasnya. Kondisi
current account deficit Indonesia yang masih tinggi juga kian membuat pasar dalam negeri jauh lebih sensitif terhadap guncangan eksternal seperti ini.
Untuk membuat pasar tetap likuid, Anil berpendapat salah satu pilihan terbaik saat ini untuk Bank Indonesia (BI) adalah dengan kembali menaikkan suku bunga acuan. Tak tertutup kemungkinan langkah tersebut dapat diambil BI pada Rapat Dewan Gubernur pada 28 Juni mendatang. "Bisa juga dengan melemahkan mata uang rupiah, tapi efek samping negatifnya lebih banyak. Sepertinya, Indonesia tidak punya banyak pilihan selain menaikkan lagi suku bunga," kata Anil. Kendati demikian, Anil berharap pemerintah tak hanya melakukan antisipasi dari sisi moneter saja. Peningkatan ekspor non-komoditas perlu terus diupayakan agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara simultan. "Pemerintah harus mulai memberi perhatian lebih untuk meningkatkan
foreign direct investment lewat pembangunan, supaya kondisi pasar bisa lebih stabil ke depan," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati