KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Musim aksi akuisisi oleh emiten nampaknya sudah kembali tiba. Sejumlah perusahaan kembali meramaikan aksi caplok-mencaplok perusahaan lain untuk mendorong kinerja. Setidaknya dalam beberapa waktu ke belakang, berbagai konfirmasi atas aksi akuisisi oleh emiten bisa kita lihat. Yang terbaru, di antaranya aksi PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) yang resmi mengakuisisi 99% saham Bank Commonwealth milik Commonwealth Bank of Australia (CBA). Selain itu, OCBC NISP mengungkapkan berencana membeli sisa 1% saham Bank Commonwealth dari pemegang saham lain. Dalam keterbukaan informasi di BEI pekan lalu, OCBC NISP menyebut telah menandatangani perjanjian transaksi 99% saham Bank Commonwealth dengan Commonwealth Bank of Australia. Usai akuisisi, Bank Commonwealth Indonesia akan digabung dengan OCBC NISP. Nilai transaksi penjualan saham ini sebesar Rp 2,2 triliun.
"OCBC Indonesia memiliki sumber daya finansial yang memadai, melalui internal kas bank, untuk mendanai rencana akuisisi," ujar Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur OCBC NISP.
Baca Juga: Peta Berubah Pasca OCBC Akuisisi Commonwealth, Ini 10 Bank Dengan Aset Terbesar "Akuisisi ini diharapkan tuntas di kuartal dua atau ketiga tahun depan. Hingga penjualan selesai, bisnis akan terus berjalan seperti biasa bagi nasabah dan karyawan kami," tutur Lauren Sulistiawati, Presiden Direktur Bank Commonwealth. Aksi korporasi tersebut juga diprediksi bakal mengubah peta aset bank besar tanah air. Pasalnya, usai penggabungan OCBC NISP dan Bank Commonwealth, aset bank berkode saham NISP ini akan makin gemuk, bahkan bisa menyalip aset PT Bank Permata Tbk. Per September, OCBC NISP memiliki aset senilai Rp 247 triliun, naik 12% dari periode sama tahun lalu. Di periode yang sama, Bank Commonwealth memiliki aset dengan nilai Rp 16,55 triliun. Nilai ini terkoreksi 10,01%. Jika digabung, aset kedua bank tersebut akan mencapai Rp 263,55 triliun. Ini berarti sudah melampaui aset Bank Permata di periode sama yang sebesar Rp 251,9 triliun. OCBC NISP juga akan menjadi bank swasta dengan aset terbesar ketiga di Tanah Air. Di atasnya, ada PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) dengan aset senilai Rp 329,13 triliun. Paling tinggi ada PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Di waktu yang berdekatan, emiten jasa penambang PT Samindo Resources Tbk (MYOH) juga melebarkan usaha di bidang kontraktor tambang batubara. Pada 14 November 2023, MYOH melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat alias
conditional shares purchase agreement untuk mengambilalih sekitar 1,23 miliar saham PT Transkon Jaya Tbk (TRJA). Saham TRJA yang akan dibeli MYOH adalah milik PT Damai Investama dan PT MSJ Investama Abadi. Damai Investama merupakan pemegang saham pengendali (PSP) TRJA dengan kepemilikan 570,79 juta saham atau setara 37,76%. Sementara MSJ Investama Abadi memegang 454,08 juta saham atau setara 30,06% "Transaksi pengambilalihan saham pengendali TRJA adalah salah satu dari strategi pengembangan bisnis MYOH," tulis Ahmad Zaki Natsir, Sekretaris Korporat Samindo Resources, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (16/11) lalu.
Baca Juga: Migrasi Nasabah Ritel Citi Tuntas Aksi akuisisi lain yang membetot perhatian pasar adalah PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) milik taipan Prajogo Pangestu yang juga agresif memborong korporasi lain untuk memperbesar aset serta diversifikasi bisnis. Terkini, CUAN akan mengakuisisi sebagian saham PT Petrosea Tbk (PTRO). PTRO merupakan emiten bidang kontrak pertambangan, teknik, pengadaan dan konstruksi multi-disiplin, serta perusahaan jasa minyak dan gas. Aksi ini dilakukan CUAN via anak usaha PT Kreasi Jasa Persada. CUAN akan membeli saham PTRO dari PT Caraka Reksa Optima sebanyak 342,92 juta saham atau 34% dari total modal disetor dan ditempatkan PTRO. Jika rencana transaksi berlaku efektif, PT Kreasi Jasa Persada menjadi pengendali PTRO. Kemudian, PTRO akan menjadi anak usaha CUAN. "Tujuan transaksi dan pengendalian untuk menambah aset, memperluas jaringan usaha serta bagian dari rencana pengembangan usaha jangka panjang perseroan," kata Michael, Direktur Utama CUAN, Selasa (7/11). Beberapa bulan lalu, CUAN juga meneken perjanjian jual beli bersyarat dengan PT Indika Indonesia Resources dan Indika Capital Investments Pte Ltd. Keduanya adalah anak perusahaan PT Indika Energy Tbk (INDY). Perjanjian ini untuk memperoleh 100% kepemilikan PT Multi Tambangjaya Utama. Multi Tambangjaya Utama adalah anak usaha INDY, yang merupakan perusahaan pertambangan batubara termal dan batubara metalurgi bituminous di Kalimantan Tengah. CUAN akan membeli seluruh saham Multi Tambangjaya Utama, termasuk hak pemasaran dari Indika Capital Investments dengan total nilai US$ 218 juta. CUAN juga aktif melebarkan bisnis ke sektor lain, seperti komoditas tambang pasir silika. Salah satu entitas anak yang dimiliki oleh CUAN, yaitu PT Prima Mineral Investindo (PMI) membeli sebanyak 85% saham PT Sepekat Salut Sejahtera. Kemudian, pada 4 September 2023, CUAN mengumumkan masuk ke bisnis mineral emas. Diversifikasi usaha ini dilakukan CUAN melalui anak PT Intam.
Lebih Rendah dari Tahun Lalu
Tak ketinggalan, PT United Tractors Tbk (UNTR) juga agresif berekspansi ke pertambangan nikel. Pada September 2023, UNTR merampungkan akuisisi 19,99% saham Nickel Industries Limited (NIC), perusahaan nikel yang terdaftar di bursa efek Australia. UNTR masuk melalui anak usahanya PT Danusa Tambang Nusantara (DTN).
Baca Juga: Samindo Resources (MYOH) Bakal Akuisisi TRJA, Begini Kondisi Keuangannya Lewat anak usaha yang sama, UNTR juga meneken Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat pada pertengahan Oktober 2023 untuk mengakuisisi 66,67% saham PT Anugerah Surya Pacific Resources (ASPR), holding pemilik tambang nikel Stargate.
Ramainya aksi korporasi belakangan ini seolah menjadi angin segar bagi seretnya akuisisi pada tahun ini.
Hal ini setidaknya terlihat dari pemberitahuan merger dan akuisisi (M&A) yang didaftarkan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sampai kuartal III-2023, hanya ada 106 M&A, turun dibandingkan periode sama tahun lalu sebanyak lebih dari 300 notifikasi. Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur menyatakan, aksi merger dan akuisisi berpeluang naik lagi di akhir tahun ini, meski pemilu mulai berjalan. "Pemilu tidak menjadi penghalang aksi merger dan akuisisi, terutama sektor yang teregulasi," ungkap Deswin.
Efek Tahun Politik
Hal senada juga diungkapkan analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto yang yakin aksi akuisisi oleh emiten masih akan ramai jelang pergantian tahun. Ia mengatakan tujuan emiten melakukan akuisisi tentunya untuk memperkuat pertumbuhan bisnis. Selain itu, bisa juga untuk efisiensi operasional dengan menggabungkan teknologi, dan infrastruktur yang dimiliki oleh ekosistem perusahaan sehingga dapat mengurangi biaya operasional. Yang terakhir, sumber daya yang lebih besar juga akan meningkatkan daya saing dan kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi. “Jika bicara prospek terkait dengan aksi akuisisi, kami meyakini semuanya memiliki prospek yang baik di masa mendatang,” kata Pandhu. Namun Pandhu mengatakan, sejauh mana aksi ini akan berdampak pada kinerja perseroan tentu perlu dipantau terlebih dahulu.
“Karena jika ternyata aset yang diakuisisi kurang produktif, tentu dapat berdampak negatif pada kinerja. Apalagi jika dana yang digunakan untuk akuisisi berasal dari utang sehingga akan menambah beban,” kata dia. Di lain sisi, ia memprediksikan dalam beberapa waktu mendatang aksi akuisisi akan cenderung lebih pasif karena kondisi politik yang semakin dekat dengan pemilu yang mana biasanya para pelaku usaha akan cenderung menerapkan sikap
wait and see. “Selain itu kondisi ekonomi global juga masih relatif lambat sehingga akses pendanaan akan cenderung terbatas,” kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi