JAKARTA. Para pelaku usaha perikanan di Tanah Air tengah murung. Bisnis sebagian dari mereka mandek karena terkena dampak dari terbitnya sejumlah kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiatusti. Guna memerangi illegal fishing, Menteri Susi menerbitkan dua beleid, yakni tentang moratorium izin kapal penangkap ikan dan penghentian bongkar muat di tengah laut atau transhipment. Sejak beleid itu terbit, para pelaku usaha pun gelagapan karena sebagian kapal-kapal mereka harus berhenti beroperasi. Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Eddy Yuwono menyatakan, kebijakan Menteri KKP sebenarnya baik untuk menekan praktik penangkapan ikan secara ilegal.
Namun ketika kebijakan itu dipukul rata untuk semua pelaku usaha perikanan dalam negeri yang selama ini menaati perizinan dan aturan, maka kebijakan itu membawa bumerang dan bencana bagi pelaku usaha perikanan. Pelaku usaha perikanan mencatat kerugian hingga miliaran rupiah akibat aturan moratorium dan transhipment ini. Eddy bilang, saat ini, anggota Astuin memiliki 600 kapal tangkap tuna di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 150 kapal ikan tidak dapat beroperasi karena Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSKP) tidak menerbitkan Surat Layak Operasi (SLO) bagi 150 kapal penangkap ikan tersebut. Nilai kerugian tidak sedikit. Setiap kapal rata-rata menghasilkan 30 ton–40 ton ikan per tiga bulan. Bila dikalikan harga ikan rata-rata Rp 60.000 per kilogram (kg), maka kerugiannya antara Rp 1,8 miliar sampai Rp 2,4 miliar per kapal. Bila dikali 150 kapal, maka total kerugian antara Rp 270 miliar–Rp 360 miliar per tiga bulan. "Jadi semua kapal saat ini menganggur di Pelabuhan Muara Baru Jakarta," tutur Eddy, Kamis (15/1). Kapal-kapal tersebut tidak mendapat SLO karena dianggap melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 57 tahun 2014 tentang Penghentian Bongkar Muat di Tengah Laut (transhipment). Menurut Eddy, menjelang terbitnya beleid ini pada Desember 2014 lalu, tidak ada tahap sosialisasi ke pengusaha terlebih dahulu. "Langsung diberlakukan," katanya. Karena tidak tahu, banyak kapal-kapal anggota Astuin yang masih berlayar di tengah laut dan melakukan bongkar muat. Hal senada juga diungkapkan seorang pelaku usaha perikanan asal Kota Bitung, Sulawesi Utara bernama Abrizal Ang. Ia mengaku, memiliki 20 kapal ikan dengan bobot di bawah 100 ton. Sejak kebijakan moratorium dan larangan transhipment diberlakukan, semua kapal itu tidak dapat berlayar lagi karena PSKP tidak mengeluarkan SLO. Alhasil, roda perputaran usaha perikanannya pun sudah di ujung tanduk. "Kebijakan Menteri KKP yang baru ini membuat bangkrut usaha kami. Padahal semua operasional kami, termasuk penjualan dan awak kapal itu 100% asal Indonesia dan hasilnya juga dijual di Indonesia," ujarnya.
Ia mengaku, tidak pernah ekspor apalagi menjual ikan ke kapal asing di tengah laut atau perairan Indonesia. Ketua Asosiasi Budidaya Laut Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja mengatakan, sejak adanya kebijakan moratorium dan larangan transhipment, para anggotanya tak dapat menjual ikan lagi karena tidak ada kapal pengangkut. Saat ini sudah ada 500 ton ikan tidak bisa dijual. Jumlahnya diperkirakan naik menjadi 790 ton ikan bulan depan. "Setiap bulan tambah 290 ton," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto