Terbatas karena likuiditas rendah



JAKARTA. Pilihan instrumen investasi bagi investor di Indonesia semakin bertambah. Dua pilihan produk yang bisa dilirik investor antara lain Dana Investasi Real Estate (DIRE) dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA).

Keduanya memiliki kemiripan aset berupa properti. Bedanya, DIRE langsung menginvestasikan dana ke properti. Sedangkan, KIK-EBA yang ada saat ini memiliki aset dasar surat utang berupa kredit pemilikan rumah (KPR). Berbeda dengan DIRE yang bersifat terbuka, instrumen KIK-EBA memiliki jangka waktu tertentu.

Manajer investasi yang menghadirkan produk DIRE adalah PT Ciptadana Asset Management. Ciptadana yakin, produk ini mampu berkembang layaknya instrumen investasi yang sudah ada.


Direktur Pemasaran Ciptadana Asset Management, Paula Rianty Komarudin optimistis, produk ini akan tumbuh pada tahun depan. Ia mengacu pada baiknya sambutan pasar ketika DIRE meluncur 12 November silam. Permintaan yang masuk mencapai Rp 565 miliar, atau kelebihan permintaan 1,4 kali dari total penerbitan awal Rp 400 miliar.

Ciptadana menargetkan, dana kelolaan DIRE tahun depan bisa naik menjadi Rp 1 triliun. "Aset dasar kami adalah properti, yakni mal. Tahun depan, kami percaya bahwa sektor properti, consumer, dan infrastuktur masih bagus," ujar Rianty kepada KONTAN, kemarin.

Direktur Utama PT Infovesta Utama, Parto Kawito menilai, produk DIRE ini kurang terdiversifikasi. Pasalnya, 80% asetnya ditempatkan pada satu properti. Hal itu mendatangkan risiko jika mal yang bersangkutan kalah bersaing dengan mal lain. Ia menyarankan investor mempelajari terlebih dulu mengenai produk baru ini.

Sebelum memutuskan bergabung pada produk ini, Parto mengingatkan investor mengunjungi langsung mal tersebut. Tujuannya, untuk menyaksikan berapa pengunjung rata-rata harian dan akhir pekan. "Lebih bagus lagi kalau portofolionya diperbanyak, misalnya hotel," saran Parto.

Senada dengan Parto, Ariawan, analis Sucorinvest Central Gani menilai, masyarakat masih belum kenal betul produk ini. Akibatnya, pasar belum bergairah. Namun, ia menilai prospek KIK-EBA cukup bagus. Sebab, aset dasarnya berupa KPR dengan kinerja yang baik.

Di sisi lain, KIK-EBA memiliki kelemahan karena likuiditasnya masih rendah. Hal itu bisa dilihat dari minimnya transaksi di pasar sekunder. Saat ini, investor KIK-EBA juga masih didominasi oleh investor institusi daripada ritel. Investor institusi tersebut antara lain perbankan, asset management, dan asuransi.

Menurutnya, minimnya investor ritel disebabkan belum adanya pengetahuan yang memadai terkait produk ini. "Para MI harus lebih mengenalkan produk ini kepada masyarakat. Dengan demikian, prospek ke depannya akan lebih baik setelah banyak dikenal," saran Ariawan.

Ariawan bilang, tingkat kupon yang ditawarkan KIK-EBA juga masih tergolong rendah. Pada produk KIK-EBA seri I dan KIK-EBA seri IV kisaran kupon antara 8,75%-9,75%. Idealnya, tingkat kupon ini bisa lebih tinggi 50-75 basis poin dibandingkan obligasi korporasi dengan peringkat dan tenor yang sama.

Danareksa Investment Management (DIM), selaku penggagas KIK-EBA mengaku masih ingin fokus pada KIK-EBA dan belum melirik peruntungan pada DIRE. Direktur Utama DIM Zulfa Hendri melihat, dukungan pasar melalui permintaan yang masuk belum kuat. "Kami hitung-hitungan dulu. Fokus kami belum kesana," ungkap Zulfa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati