Terdesak oleh Eropa dan AS, Putin berharap pada poros Asia



KONTAN.CO.ID - DW. Dalam lawatannya yang langka ke Asia Tenggara untuk menghadiri KTT ASEAN di Singapura, Presiden Rusia Vladimir Putin bakal membawa portfoilio berisi dua primadona ekspor Rusia, yakni senjata dan energi. Kedua hal itu pula yang ditawarkan Moskow kepada Indonesia untuk meningkatkan hubungan dagang antar kedua negara.

Indonesia misalnya masih menegosiasikan pembelian 11 unit pesawat tempur Sukhoi SU-35 senilai US$1,14 miliar atau setara Rp16,7 triliun. Pertamina digandeng Rosneft buat membangun kilang pengolahan minyak dan gas di Tuban, Jawa Timur dan Merpati Airlines diisukan bakal kembali hidup dengan membangun armada Sukhoi Superjet SSJ-100.

Tidak hanya jet sipil milik Sukhoi, Rusia juga aktif menjajakan pesawat penumpang Irkut MC-21 dan helikopter angkut Mi-171A2 kepada Indonesia, seperti yang diungkapkan Menteri Industri dan Perdagangan Denis Manturov kepada kantor berita TASS, Oktober silam. "Tawaran ini tidak hanya berkaitan dengan perluasan kerjasama di industri penerbangan, tetapi juga pengembangan kerjasama dengan mengusung kompetensi perusahaan lokal," kata dia.


Manturov juga mengaku telah menawarkan sistem pengendalian lalulintas udara untuk bandar-bandar udara di Indonesia, di samping energi nuklir dengan embel-embel alih teknologi yang sudah diwacanakan sejak jauh hari.

Sejak embargo Eropa dan Amerika Serikat terkait Ukraina, Rusia menempatkan kawasan Asia Pasifik sebagai fokus pengembangan kerjasama ekonomi. Ketegangan di Laut Cina Selatan dan geliat terorisme membuka peluang bagi Moskow buat memperkuat pengaruhnya. Sebab itu sejumlah pengamat di Singapura meyakini Putin akan lebih sering berkunjung ke kawasan untuk memperdalam kerjasama perdagangan.

Terutama penjualan senjata Rusia di Asia Tengara mencatat lonjakan tajam. Saat ini negeri beruang merah itu adalah pemasok senjata terbesar untuk ASEAN. Sebanyak 12.2% ekspor senjata Rusia antara 2013-2017 mendarat di Asia Tenggara. Sepuluh tahun lalu, menurut Asian Nikkei Review, jumlahnya hanya sebesar 6,2%.

Indonesia Membuka Tangan

Seakan gayung bersambut, Indonesia yang sedang kelimpungan menghadapi ancaman boikot Uni Eropa terhadap produk kelapa sawit, pun berharap pada Rusia buat menyelamatkan sektor yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi itu.

Saat ini nilai perdagangan bilateral Indonesia dan Rusia pada tahun 2017 tercatat meningkat 14,34 persen atau senilai USD2,5 miliar. Dalam pertemuannya dengan Putin Presiden Joko Widodo berharap dukungan Moskow bagi komoditas sawit (CPO). "Kami memohon dukungan untuk promosi dan kampanye positif bagi CPO Indonesia," kata dia.

Selain sawit, Indonesia juga giat menawarkan produk perikanan dan buah tropis.

Untuk itu Indonesia siap memasuki rejim dagang pimpinan Rusia, EAEU, alias Kerjasama Perdagangan Ekonomi Eurasia. "Saya harap Rusia sebagai Ketua EAEU dapat membantu mempercepat keputusan kolektif bagi dimulainya perundingan FTA (persetujuan perdagangan bebas) antara Indonesia dengan EAEU utamanya untuk menanggapi prosedur pengajuan yang telah kami sampaikan sejak 2017," tutur Jokowi usai bertemu Putin.

Realita Menjauh

Meski demikian poros timur yang diimpikan Moskow masih jauh panggang dari api, tulis analis Brookings Institute dalam laman editorialnya. Kebergantungan yang besar terhadap pasar Eropa dinilai membuat perekonomian Rusia kesulitan melakukan diversifikasi mitra bisnis, terlebih di kawasan Asia Pasifik.

Sebagai catatan, kawasan timur Rusia yang berbatasan dengan Cina hanya dihuni oleh tujuh juta penduduk, sementara kawasan barat di dekat perbatasan Eropa dihuni hingga 110 juta penduduk.

Maka bisnis senjata dan energi diharapkan bisa meperbesar peluang Rusia di kawasan Pasifik. Belum lama ini pemerintah di Moskow memublikasikan strategi pengembangan pasar energi yang diberi nama ES-2035. Di dalamnya Rusia ingin membangun koridor energi raksasa ke Asia untuk memasok Jepang, Korea Selatan, Cina dan bahkan India.

Untuk itu Rosneft sudah memperluas kilang gas di pulau Sakhalin yang berbatasan langsung dengan Jepang.

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti