Terimbas Pelemahan Daya Beli, Pujasera di Pusat Perbelanjaan Sepi Pengunjung



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan daya beli masyarakat makin terlihat saat ini. Hal tersebut terlihat dari sejumlah kawasan pujasera atau foodcourt di pusat perbelanjaan yang terlihat sepi walaupun sudah memasuki jam makan siang.

Berdasarkan pantauan Kontan.co.id di pujasera Mall Plaza Semanggi, terlihat sepi pengunjung, Padahal saat menunjukkan pukul 12.00 WIB, atau waktu makan siang.

Namun, yang terlihat hanya ada beberapa ojek online (ojol) yang naik ke lantai 3A untuk mengambil orderan. Beberapa orang berkemeja khas kantoran memang mulai berdatangan, tapi tidak pula mampu memenuhi bangku-bangku kosong yang kelewat banyak di kawasan pujasera tersebut.


Fatimah (24 tahun) yang merupakan salah satu pedagang rice bowl di pujasera Mall Semanggi mengungkapkan sepinya pengunjung sudah dirasakan sejak pandemi Covid-19. Sayangnya, setelah pandemi usai, orang yang berkunjung ke pujasera itu juga tidak banyak bertambah.

"Kalau sepi sebenarnya sudah dari Covid ya, kalau sekarang biasanya ada datang orang ketika jam makan siang," katanya.

Fatimah bilang, dirinya menggantungkan pembelian dari para pekerja kantoran disekitar mall. Pemasukan yang dia terima biasanya bisa lebih banyak saat weekdays, dibandingkan weekend.

"Kalau hari kerja kadang 12-13 porsi, tapi kalau weekend lebih sepi disini, pernah sama sekali enggak (tidak laku)" ungkapnya.

Baca Juga: Deflasi 5 Bulan Beruntun, Pengusaha Minta Pemerintah Keluarkan 3 Kebijakan Ini

Karena kurangnya pengunjung, Fatimah bilang bahwa banyak penjual makanan lain yang akhirnya menutup tenant-nya.

Nasib serupa dialami Rani (55), penjual ayam penyet dan ayam geprek di pujasera Blok M Square. Menurut Rani, permasalahan sepinya konsumen di pujasera tempatnya berjualan cukup kompleks.

Di Blok M Square, ada beberapa tenant yang bisa menarik orang untuk datang ke foodcourt namun kini telah tutup.

"Jadi disini (foodcourt) satu tempat sama tempat bermain anak, tapi ini sudah tutup. Kalo ada anak main, otomatis biasanya makan disini," katanya.

Disamping itu, Rani mengakui bahwa memang pada dirasakan penurunan daya beli. Dalam sehari berjualan, Rani bilang saat ini dia tidak lagi mengejar untuk, tapi modal untuk membeli bahan baku untuk berdagang di hari selanjutnya. 

"Memang ini lagi parah, gak mencukupi dan gak menutup. Kadang buat belanja besok saja kita kurang. Apalagi saya jualan ayam, harus modal besar, kalau sudah gak fresh kan gak bisa kita jual," tambahnya.

Penurunan daya beli ini nampaknya juga tercermin dari perilaku para pengunjung mall. Salah satu pengunjung, Nova (23) bilang dalam sebulan dirinya hanya ke mall kurang dari 3 kali, itu pun hanya untuk sekedar cuci mata atau bertemu teman.

"Itu untuk sekadar main ketemu teman saja. Tapi kalau beli makanan atau kalau mau belanja ada beberapa barang saya budget masih around  Rp 100.000," katanya.

Tidak berbeda jauh dengan Qonita (28), ia mengatakan membatasi diri sebulan sekali ke mall, hanya untuk self reward setelah mendapatkan gaji. Sisanya, jika ingin sesuatu, ia memilih membeli di e-commerce secara online.

Baca Juga: Pilkada Serentak Diprediksi Dorong Pertumbuhan Ekonomi di Kuartal IV 2024

"Minimal sekali, setelah gajian. Cuma buat makan enak habis itu jalan-jalan saja, lihat-lihat skincare atau buku, atau baju. Tapi tidak beli, cuma liat untuk bandingin harga, dan belinya di Shopee atau toko daring lainnya," ungkapnya.

Qonita juga menambahkan gajinya untuk satu bulan biasanya sudah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga kegiatan untuk berbelanja atau makan di mall bukalah sesuatu yang harus dilakukan.

"(Uang) sudah habis untuk kebutuhan pokok, sekarang apa-apa mahal, tapi gaji stuck, cari tambahan pun juga susah, karena sekarang kayaknya lowongan untuk freelancer juga masih sepi," tambahnya.

Menurunnya pendapatan para penjual di kawasan pujasera yang berada di pusat perbelanjaan karena menurunnya daya beli masyarakat ini seperti cerminan kecil dari keputusan masyarakat sekarang yang lebih memilih menunda belanja.

Berdasarkan data BPS, Indonesia telah mengalami deflasi sejak Mei. Bahkan, terakhir deflasi terjadi di bulan September sebesar 0,12%.

Asal tahu saja, deflasi erat kaitannya dengan daya beli masyarakat yang menurun. Sehingga harga-harga, baik barang dan jasa, secara umum juga mengalami penurunan.

Bahkan menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Wijaja penurunan daya beli masyarakat kelas menengah telah terjadi sejak awal tahun ini terutama setelah Idul Fitri 2024.

Memang, ungkap dia secara kasat mata kunjungan masyarakat ke mall tidak mengalami penurunan. Sayangnya, kunjungan ini tidak berdampak signifikan pada pendapatan penjual di mall-mall.

"Rata-rata tingkat kunjungan ke Pusat Perbelanjaan tidak mengalami penurunan bahkan cenderung relatif meningkat meski tidak signifikan. Yang terjadi adalah perubahan dalam tren atau pola belanja masyarakat terutama kalangan kelas menengah bawah," jelasnya.

Baca Juga: Daya Beli Masih Positif, Simak Rekomendasi Saham Emiten Ritel

Perubahan ini karena uang yang dipegang oleh masyarakat semakin sedikit maka saat ini pola belanja masyarakat kelas menengah bawah cenderung untuk membeli barang ataupun produk dengan nilai/harga satuan yang lebih kecil atau murah.

"Diperkirakan kondisi ini akan terus terjadi sampai dengan akhir tahun ini sehingga diprediksi juga pertumbukan industri usaha ritel secara keseluruhan pada 2024 ini hanya akan  single digit saja," ungkapnya.

Hal serupa juga diungkap Ketua Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah bahwa pada September 2024 terjadi penjualan di sektor Food and Beverage dan Fashion yang dijual di pusat perbelanjaan.

"Jadi saat ini kalau dari data terakhir yang kami dapat dari para pemain, di bulan 9 (September), penurunan (penjualan) untuk FnB itu 3%, untuk fashion sepatu-tas itu 5%-10%," katanya.

Meski begitu, Budi bilang pihaknya tidak memandang penurunan tersebut karena penurunan daya beli. Dia bilang, ini adalah efek daripada menunggu kepastian kebijakan dari pemerintahan selanjutnya.

"Kami melihatnya ini karena efek daripada hasil pilkada dan presiden terpilih untuk dilantik jadi ada yang menahan beli, menunggu kebijakannya apa," katanya.

Selain itu bisnis FnB, sama seperti bisnis fashion juga memiliki pilihan pemesanan online yang biasanya dari platform online juga memiliki fitur diskon dibandingkan saat dine in (makan di tempat).

"Dikarenakan harga di online murah, kemudian harga di offline ada perbedaan, maka kalau dari kami dilakukanlah promosi, pengurangan margin itu agar bisa bersaing dengan online," tutupnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari