Terkait bukti palsu, vendor Meikarta mengaku diminta buat SPK sendiri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada PT Mahkota Sentosa Utama, pengembang megaproyek Meikarta dengan nomor perkara 68/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst yang diajukan oleh PT Relys Trans Logistics dan PT Imperia Cipta Kreasi ditolak hakim yang diketuai oleh Agustinus Setya Wahyu, dan beranggotakan Titik Tedjaningsih, serta Marulak Purba.

Saat membacakan putusan, dalam pertimbangannya Hakim Agustinus menyebutkan bahwa permohonan ditolak, lantaran dinilai tak memenuhi syarat formil sesuai UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU ihwal pembuktian tak sederhana.

"Majelis berpendapat, karena ada laporan polisi, masih ada proses yang berjalan di kepolisian, sementara kreditur lain yang diajukan pemohon telah dibantah termohon, maka pembuktian tidak menjadi sederhana," jelas Hakim Agustinus saat membacakan putusan kala itu.


Terkait laporan pidana pemalsuan yang dilakukan oleh Mahkota di Polres Bekasi, dan Polda Metro Jaya, Direktur Imperia Herman angkat bicara. Jumat (6/7) Herman menemui beberapa juru warta termasuk Kontan.co.id di Restoran Lumpang Emas, Senopati, Jakarta.

Ia mejelaskan bahwa sedianya dugaan pembuatan surat palsu tersebut dilakukan lantaran adanya perubahan mekanisme penagihan yang dilakukan oleh Mahkota.

"Di awal kerjasama memang kami hanya susun semacam Renacana Anggaran Belanja (RAB), dan itu disetujui oleh Direktur Mahkota. Hanya itu saja, kemudian kami lakukan pekerjaan, sempat ada pembayaran uang muka, yang sebenarnya telat juga, karena dibayar setelah kami melakukan pekerjaan. Nah di pertengahan proyek ada mekanisme yang diubah, untuk penagihan harus disertakan bukti-bukti misalnya Surat Perintah Kerja (SPK), sejak awal. Kita tak pernah diberi ini oleh Mahkota," kata Herman.

Herman mengaku, pihaknya cukup kelimpungan menggarap bukti-bukti tersebut. Sebab pada dasarnya tak cuma Imperia, melainkan seluruh vendor tak pernah diberikan SPK.

"Waktu itu Meikarta bilang agar vendor buat draf SPK, kemudian diserahkan untuk ditandatangani dari pihak Meikarta. Saat itu kami berurusan hanya dengan Marketing Communication (Marcomm), tak langsung ke petinggi-petinggi Meikarta memang," sambungnya.

Imperia sendiri menggarap proyek promosi Meikarta di Malang, Sidoarjo, dan Jember serta satu proyek launching Meikarta di Central Park Cikarang. Nilai proyeknya diketahui mencapai Rp 20 miliar lebih. Sementara dari total tagihan tersebut, diketahui Mahkota baru membayar Rp 3 miliar, sehingga ada sisa Rp 17 miliar yang belum dibayarkan.

Atas utang tersebut kemudian Imperia bersama Relys mengajukan PKPU terhadap Mahkota. Relys juga diketahui memiliki tagihan yang belum dibayarkan senilai Rp 17 miliar. Relys juga menggarap proyek promosi Meikarta, namun di lokasi yang berbeda yaitu Jabodetabek, Karawang, Depok, Bandung dengan nilai proyek total Rp 30 miliar lebih, dan baru Rp 13 miliar yang dibayarkan Meikarta.

Sayangnya, permohonan dua vendor ini kemudian ditolak Majelis Hakim, terkait adanya pemalsuan SPK yang jadi bukti permohonan PKPU. Dari salinan SPK yang didapatkan KONTAN, dugaan SPK palsu muncul lantaran SPK tersebut  memiliki kepala surat dari Relys. Padahal seharusnya Meikarta sebagai pemberi kerja yang memberikan SPK. Tanggal pengerjaan proyek dan pengajuan pun berbeda. Selain itu, masih ada dugaan pemalsuan lainnya.

"Soal tanggal memang berbeda, karena perubahan mekanisme penagihan dilakukan tiba-tiba. Jadi misalnya proyek sudah selesai 15 September, tapi dalam SPK tanggalnya 20 September," jelas Herman.

Tanggapan Meikarta

Sementara menanggapi hal ini Direktur Mahkota Danang Kemayan Djati enggan berkomentar. Ia menyerahkannya kepada kuasa hukum yang telah ditunjuk Mahkota.

"Silakan hubungi Ibu Sarmauli atau Pak Ari saja ya, ke kuasa hukum kita. Karena kita sudah beri kuasa semuanya ke mereka," kata Danang saat dihubungi KONTAN, Minggu (8/7).

Sedangkan Ari Yusuf Amir, kuasa hukum Mahkota dari Kantor Hukum Ail Amir & Asociates menilai pernyataan Herman mengada-ada. Terlebih soal adanya permintaan pembuatan SPK oleh Mahkota kepada vendor-vendornya.

"Nah itu juga logika yang terbalik, dan tidak masuk akal. Bagaimana pihak kami akan merugikan perusahaan sendiri. Jadi tidak mungkin, karena tidak ada untungnya buat kita," jelasnya saat dihubungi KONTAN, Minggu (8/7).

Meski demikian, ia mengakui bahwa Mahkota secara tidak langsung memang mengubah mekanisme penagihan dari vendor. Lantaran saat melakukan promosi Meikarta besar-besaran, Mahkota tak miliki fungsi kontrol yang baik, sehingga kerap disalahgunakan oleh vendor memasukan tagihan palsu.

"Kita akui memang, ketika lagi promosi dan pbulikasi besar-besaran, melibatkan banyak orang sehingga fungsi kontrol tak begitu ketat. Nah itu mereka manfaatkan. Itu saja permasalahannya. Dan sekarang ketahuan. Oleh karenanya saat ini, Mahkota sedang melakukan audit vendor keseluruhan, dan jika ada yang menyimpang akan diselesaikan melalui jalur hukum," sambungya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie