JAKARTA. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mendukung langkah Kementerian Perhubungan dalam mengatur taksi online melalui revisi Peraturan Menteri No PM 32 Tahun 2016. Aturan tersebut dinilai mampu mengakomodir keberadaan taksi online maupun taksi konvensional."Justru harus diatur, kalau tidak jadi negara belantara lagi. (Kalau) semua jalan sendiri, jika ada kecelakaan, ada permasalahan, tidak jelas siapa penanggung jawabnya," kata Anggota ORI, Alvin Lie usai bertemu Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub di kantor ORI Jakarta Selatan, Senin (20/3).Alvin tidak menampik suatu kebijakan tidak selalu membuat semua pihak senang. Namun, prinsip ORI adalah melindungi kepentingan publik, meliputi pengguna jasa dan pengemudi. "Bukan hanya saat ini, tapi juga masa depan. Jangan sampai ada persaingan tidak sehat," kata Alvin.
Alvin mengatakan, ada tiga hal yang ditekankan ORI. Pertama, aturan jangan hanya fokus pada tarif, tetapi mengontrol persaingan supaya lebih sehat dan menjamin hak-hak pengguna jasa. Kedua, aturan diharapkan mendorong taksi kovensional menggunakan teknologi yang lebih maju supaya dapat bersaing. Ketiga, ORI berharap ada pemangkasan biaya perizinan dan kewajiban dari taksi konvensional. "Supaya biaya mereka bisa lebih turun, lebih kompetitif lagi," terangnya. Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Pudji Hartanto, mengungkapkan dengan aturan baru yakni revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016, tarif akan diatur oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Gubernur). "Kalau dilihat dari
schedule sudah jelas, bulan masa sosialisasi sudah, revisi sudah, uji publik sudah. Ini memang bukan untuk kepentingan orang per orang atau kelompok, tapi ini kepentingan bersama. Nah, Pemerintah perlu hadir di situ. Penegasan seperti itu," kata Pudji. Pudji menegaskan, semua perusahaan penyedia jasa taksi online harus mematuhi regulasi tersebut. "Kalau misal ada yang tidak mau diatur segala macam ya itu lain persoalan lagi. Nah kapan waktunya? 1 April batas waktu habis sosialisasi akhir bulan Maret." ujar Pudji. Terkait tarif dalam revisi PM 32/2016, Pudji menjelaskan bahwa dasar pertimbangannya adalah perlindungan konsumen, dan menjaga kesetaraan berusaha. Konsumen harus dilindungi saat jam sibuk, jangan sampai saat permintaan tinggi kemudian perusahaan menaikkan harga sesukanya. Begitupun saat jam-jam sepi, pemerintah harus hadir untuk melindungi pengemudi. Jangan sampai banting harga yang pada akhirnya korbannya adalah pengemudi.
Soal penolakan penetapan tarif batas atas dan bawah dari perusahaan taksi online, lanjutnya, dirinya mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hak masyarakat namun yang harus dipahami adalah dasar penerapannya yaitu perlindungan konsumen dan kesetaraan berusaha. Namun demikian, Kemenhub malah menyayangkan perusahaan-perusahaan aplikasi tersebut tak memberi masukan saat uji publik masih dilaksanakan. Pudji melanjutkan, saat uji publik berlangsung, sebenarnya perwakilan ketiga perusahaan tersebut hadir & materi yg 11 point sdh disampaikan sejak Uji Publik I. Namun entah mengapa mereka tak memberi masukan. Ia menilai, pengemudi taksi online justru lebih aktif memberi masukan saat uji publik berlangsung. Bahkan Pudji mengklaim pengemudi taksi online mendesak mereka agar revisi Permenhub No.32/2016 segera dilaksanakan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie