KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masa penyusunan dan pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) bagi perusahaan batubara tengah berlangsung. Namun, proyeksi produksi dan penjualan batubara pada tahun 2019 masih terhadang ketidakpastian, seiring dengan tekanan pada pasar batubara akibat dari harga yang mengalami tren penurunan. Dilihat dari Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM misalnya, per November 2018, HBA dipatok US$ 97,90 per ton. Angka itu melanjutkan tren penurunan dalam tiga bulan terakhir. Pada bulan Agustus, HBA berada di angka US$ 107,83 per ton, September sebesar US$ 104,81 per ton, dan HBA Oktober senilai US$ 100,89 per ton. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Patria Sjahrir tak menampik bahwa tren penurunan harga tersebut mempengaruhi proyeksi produksi dan ekspansi bisnis perusahaan dalam menyusun RKAB. Dengan kondisi ini, Pandu menilai perusahaan akan mengerem untuk tidak terlalu ekspansif dalam mengembangkan usaha, karena harus melihat kondisi pasar dan keuangan perusahaan.
“Akan mempengaruhi secara kurang positif. Saya rasa (perusahaan) akan lebih berjaga-jaga dan belum tentu mengembangkan usaha,” kata Pandu yang juga menjabat sebagai Direktur di Toba Bara, kepada Kontan.co.id, Sabtu (24/11). Lebih lanjut, Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menyebut, harga batubara berkalori tinggi atau 6.322 GAR yang dipatok dalam HBA masih bernasib lebih baik dibandingkan harga batubara berkalori rendah atau 4.200 GAR ke bawah yang saat ini berada di kisaran US$ 30 per ton. “Waktu Juli di atas US$ 40, terus turun dan saat ini harganya sudah menyentuh angka psikologis US$ 30,” kata Hendra. Padahal, lanjut Hendra, sekitar 70% ekspor batubara Indonesia adalah yang berjenis menengah-rendah atau kalori 5.000 GAR ke bawah. Adapun, pasar ekspor batubara ini didominasi oleh China, sehingga saat negeri tirai bambu itu membatasi impor batubara dengan jenis tersebut, maka permintaan pun berkurang yang berakibat pada penurunan harga. “Biasanya di akhir tahun seperti ini
demand tinggi, tapi karena ada kebijakan China (membatasi impor batubara), jadi kenaikan harga sulit diprediksi,” jelas Hendra. Ia mengungkapkan, di tengah masa pengajuan RKAB, perusahaan batubara menghadapi tantangan untuk menghitung rencana produksi dan penjualan di tahun depan. Apalagi, kata Hendra, kondisi ini diperparah dengan dilema sanksi mengenai pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) yang dipatok 25% dari total produksi. Hendra bilang, kondisi pasar yang tak kondusif dan DMO ini terakit erat dalam menentukan target produksi. Alasannya, kondisi pasar akan berpengaruh terhadap hitungan keekonomian, sedangkan evaluasi pemenuhan DMO akan menentukan volume produksi di RKAB, mengingat pemerintah hanya akan memberikan jatah empat kali realisasi DMO bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban memasok 25%. “Hingga kini belum jelas, karena evaluasi DMO di akhir tahun, sedangkan pada waktu yang sama, RKAB juga harus diajukan,” ungkap Hendra. Meski tak menyebutkan detailnya, masih banyak perusahaan yang belum memenuhi kewajiban 25% DMO. Sebabnya bervariasi, seperti karena spesifikasi kalori yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri, khususnya untuk kelistrikan PLN. Namun, Hendra bilang, yang harus diperhatikan adalah keberimbangan antara target DMO dan kondisi riil serapan batubara dalam negeri, terutama untuk PLN. Ia mengungkapkan, realisasi serapan domestik diperkirakan hanya mencapai 20-21% hingga akhir tahun, sedangkan target masih tetap dipatok di angka 25%. “Terus bagaimana kalau perusahaan yang belum memenuhi, tapi kuotanya sudah tidak ada lagi? Karena memang serapannya yang di bawah target,” ujar Hendra. Asal tahu saja, dalam RKAB tahun 2018 ini, produksi batubara nasional ditargetkan sebesar 485 juta ton, sedangkan untuk DMO dipatok di angka 121 juta ton. Untuk menggenjot ekspor, pemerintah pada bulan September lalu membuka penambahan 100 juta ton produksi batubara. Namun, hanya 21,9 juta ton yang disetujui, sehingga produksi pada tahun ini ditargetkan sebesar 506,9 juta ton. Hingga bulan Oktober, realisasi produksi baru mencapai 409,9 juta ton, sedangkan realisasi DMO baru menyentuh angka 90,71 juta ton, dimana 72,64 juta ton digunakan untuk kelistrikan, dan 18,07 juta ton untuk industri lainnya. Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi Arif menilai, produksi batubara, terutama yang berkalori menengah-rendah, bisa mengalami penurunan di tahun depan. Jika tidak turun, produksi akan tetap ada dikisaran 500-an juta ton atau stagnan dari target produksi tahun ini. “Bisa saja terjadi penurunan produksi jenis batubara ini. Kalau dari RKAB, mungkin akan sama, tapi realisasinya tergantung kondisi harga,” katanya. Dengan harga pasar yang bisa lebih rendah dari HBA, bahkan juga lebih rendah dari harga DMO yang dipatok untuk PLN sebesar US$ 70 per ton, Irwandi menilai, perusahaan pun bisa semakin tertekan. Sebab, harga pasar saat ini sudah mendekati harga modal (cash cost), sedangkan royalty dari HBA lebih tinggi, sehingga margin atau profit menjadi semakin sedikit. “Selain berdampak pada perusahaan, juga bisa pada pendapatan negara,”imbuhnya.
Adapun, pada akhir pekan lalu, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono kembali menegaskan bahwa pihaknya masih akan tetap mewajibkan DMO dan memberlakukan sanksi bagi yang tidak memenuhi sesuai aturan. Bambang bilang, target DMO ini bisa tercapai, dengan adanya skema transfer kuota yang tengah berlangsung. Sayang, Bambang tak menyebutkan bagaimana realisasi dari tarsnfer kuota tersebut. “Sudah banyak (yang melakukan transfer kuota), Insha Allah tercapai,” katanya. Sedangkan untuk proyeksi produksi tahun depan, Bambang masih belum mau berkomentar karena RKAB masih dalam proses pengajuan. Ia menyebut, proyeksi produksi tahun 2019 baru bisa terlihat setelah pengajuan RKAB dan evaluasi DMO selesai pada bulan Desember nanti. “Belum tahu, belum bisa diputuskan. Nanti tunggu (perusahaan) memasukan semua, baru kita tahu, setelah Desember,” tandas Bambang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati