Terkoreksi sepekan, harga minyak rawan turun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepekan harga minyak melemah, apalagi kemarin harga minyak sempat berada di titik terendah dalam dua bulan. Berbagai sentimen telah menghantui harga komoditas energi ini.

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (24/5) pukul 19.20 WIB, harga minyak west texas intermediate untuk pengiriman Juli 2019 di New York Mercantile Exchange menguat 0,85% ke US$ 58,40 per barel dari harga penutupan kemarin pada US$ 57,91 per barel. Kemarin, harga minyak acuan Amerika Serikat (AS) ini turun 5,71% dan merosot 7,18% dalam sepekan hingga hari ini.

Sedangkan harga minyak brent untuk pengiriman Juli 2019 di ICE Futures menguat 1,06% ke US$ 68,48 per barel. Kemarin, harga minyak acuan internasional ini turun 4,55%, dan melorot 5,17% dalam sepekan hingga hari ini.


Analis Asia Trade Point Futures, Deddy Yusuf Siregar mengatakan hari ini harga minyak rebound murni karena faktor teknikal, sebab koreksi yang terjadi kemarin cukup dalam. Deddy mengatakan, rebound harga minyak WTI masih akan sulit menyentuh level US$ 62 per barel.

Di saat yang sama AS harus berseteru dengan China dan Iran. Kedua negara tersebut sangat berkaitan dengan rantai supply dan demand minyak mentah global. Harga minyak jatuh seiring kenaikan persediaan minyak mentah AS yang bertambah 4,7 juta barel, lebih besar daripada prediksi penurunan 1,2 juta barel.

Deddy menambahkan, harga minyak saat ini dalam tren pelemahan karena situasi perang dagang AS-China yang memanas. Kementerian Perdagangan China, tadi malam menyampaikan pihak mereka belum membuka pintu dialog kepada AS kalau belum menunjukkan ketulusan.

China nampaknya tambah kesal setelah AS memboikot perusahaan teknologi asal China, yakni Huawei Technologies Inc masuk ke negeri Paman Sam.

Namun, kata Deddy ke depan China tidak akan diam saja. Sektor pertanian AS bisa menjadi balasan. China kemungkinan akan mengurangi impor kedelai AS. "Jika China membalikkan serangan AS melunak, harga minyak bisa berbalik menguat," kata Deddy kepada Kontan.co.id, Jumat (24/5). 

Deddy menambahkan konflik Timur Tengah pun bisa menjadi katalis harga minyak menguat lebih tinggi. Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sepertinya masih akan menjalankan komitmen pemangkasan produksi minyak di semester II tahun ini. Meski, Rusia tidak mau ikut lagi, upaya OPEC bisa menggenjot pemangkasan lebih dalam.

Pekan depan, harga komoditas ini masih bisa volatile. Sebab pasar akan melihat data sumur pengeboran minyak AS. Jika sumur minyak AS makin banyak yang aktif maka harga akan koreksi lagi.

Secara teknikal Deddy mengamati indikator moving average (MA) 50, MA100, dan MA200 terlihat menguat. Selanjutnya relative strength index (RSI) membuka arah beli ditambah moving average convergence divergence (MACD) yang positif. Tapi, stochastic berada di level 73 yang mengindikasikan rawan akan koreksi.

Adapun prediksi harga minyak menurutnya pada Senin (27/5) di rentang US$ 62,51-US$ 64,00 per barel. Sementara sepekan ke depan di level US$ 62-US$ 64,50 per barel.

Kata Deddy, memasuki semester II nanti, jika perang dagang AS-China masih bergulir maka harga minyak bisa menyentuh US$ 59 per barel sebelum ke level US$ 50 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati