KONTAN.CO.ID - Teror bom adalah tindakan keji yang membajak kesucian agama sebagai pembenar atas tindak sesat yang dilakukan. Aksi terorisme adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang menebar ketakutan dan menggerogoti rasa aman masyarakat. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk meredam radikalisme dan terorisme. Tetapi, aksi teror bom bunuh dari sepertinya tak pernah mati. Tidak sedikit terduga teroris telah ditangkap aparat. Alih-alih surut, dalam kenyataan justru muncul aksi balas dendam. Ledakan bom bunuh diri yang dilakukan pasangan suami istri berinisial L dan YSF di Makassar, Sulawesi Selatan adalah salah satu bukti bahwa terorisme masih menjadi ancaman serius di Indonesia. Pasangan pengantin baru yang telah terkontaminasi doktrin jihad ini, meledakkan diri di depan Gereja Katedral Makassar minggu 29 Maret 2021 lalu. Sebanyak 20 orang dilaporkan terluka. Pelaku teror bom ditengarai anggota organisasi teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) atau
Jamaah Ansharut Daulah (JAD) tewas seketika di tempat kejadian.
Di Indonesia, aksi teror bom sebetulnya bukan hal yang baru. Dalam beberapa kurun waktu aksi terorisme memang terkesan mati suri. Tetapi, tanpa diduga aksi teror bom tiba-tiba muncul di berbagai tempat. Menjelang perayaan hari-hari besar keagamaan, aksi teror bom seringkali terjadi. Meski selama ini tidak sedikit terduga teroris sudah ditangkap aparat, tetapi dari waktu ke waktu selalu muncul pengganti-pengganti baru yang tak pernah putus. Memasuki era digital seperti sekarang ini, yang terjadi bukannya masyarakat makin kritis menyikapi pengaruh radikalisme yang ditebar melalui media sosial dan internet. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Di era revolusi informasi, perkembangan internet serta aplikasi berbagai sosial media makin sering digunakan oleh berbagai kelompok garis keras yang berkepentingan untuk menyebarkan ideologi radikal dan mempropagandakan doktrin-doktrin, menjajaki dan menjaring kader-kader potensial, bahkan menyuarakan jihad (Aly, Macdonald, Jarvis, & Chen, 2017). Tanpa harus bertemu secara fisik, paham radikalisme dengan mudah menyusup lewat koneksi internet di kamar-kamar yang tertutup. Sejak akhir 1990-an dan awal 2000-an, sejumlah organisasi terorisme transnasional seperti Al Qaeda dan ISIS, dilaporkan telah memanfaatkan blog, laman, forum, dan media sosial (Facebook, Twitter, dan Youtube) sebagai ujung tombak "jihad media" penyebaran paham ideologi radikal-keagamaan.
Benih terorisme Di antara usaha paling awal kelompok-kelompok radikal Islam dalam memanfaatkan internet adalah dibuatnya Azzam.com, sebuah laman yang dibuat oleh seorang mahasiswa Muslim di Imperial College, London pada tahun 1997. Sejak itu, laman ini banyak ditiru dan mendorong kelompok-kelompok radikal-fundamentalis Islam lainnya untuk membuat laman serupa (Amble, 2012). Penetrasi pengguna internet di seluruh dunia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun merupakan salah satu faktor utama cepatnya pergeseran pola strategi penyebaran ideologi radikal-keagamaan secara global. Di Indonesia sendiri sejumlah organisasi Islam yang ditengarai berhaluan radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan lain-lain dilaporkan tengah mengembangkan jihad media sosial di kalangan anak muda Muslim dengan memanfaatkan sejumlah platform media baru (Iqbal, 2014; Muthohirin, 2015). Media sosial memang merupakan salah satu bentuk media baru paling populer, yang secara sadar dimanfaatkan oleh organisasi-organisasi radikal-keagamaan di Indonesia untuk berkomunikasi dengan khalayak umum, menyebarkan paham ideologi radikal mereka, membentuk opini publik hingga merekrut kader-kader baru. Berbeda dengan era sebelumnya, strategi penyebaran ideologi radikal-keagamaan melalui berbagai platform media baru saat ini telah berlangsung secara lebih sistematis, terstruktur dan berorientasi pada tujuan yang jelas. Di Indonesia, kurang-lebih dua dekade terakhir memang gerakan radikalisme cenderung makin meluas dan dengan mudah diikuti perkembangannya oleh publik. Selain dari penerbitan-penerbitan berbasis Islam, juga dari akun-akun media sosial, portal
online yang digunakan untuk mempropagandakan ideologi-ideologi radikal, ujaran kebencian, penegakan khilafah dan pendirian negara Islam. Bisa dikatakan ideologi Islam radikal mulai merambah dengan sangat
pervasive-nya ke dunia maya, mulai dari penyebaran ajaran-ajaran radikal dalam bentuk penerbitan, dakwah, yang disertai usaha-usaha aktif menyebarkan isu-isu radikalisme hingga mencari kader-kader potensial. Selain itu, kelompok-kelompok radikal ini bisa dikatakan memperlihatkan gerakan-gerakan penyebarluasan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrinnya dalam bentuk halaqah,
usrah, atau
daurah di masjid-masjid dan kampus-kampus, bahkan di kost-kost mahasiswa (Muthohirin, 2015; Yusar, 2016). Setidaknya sejak tahun 2005, di Indonesia muncul fenomena yang oleh Greg Fealy disebut sebagai "
conservative turn" dalam kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia (Fealy, 2006). Merujuk Fealy,
conservative turn adalah gejala meningkatnya interpretasi pemahaman keagamaan yang konservatif, puritan dan intoleran. Wajah umat Islam di Indonesia yang sebelumnya dikenal moderat, ramah, toleran dan terbuka, kini terkesan berubah menjadi konservatif, pemarah, tertutup dan intoleran (Fealy, 2006; Bruinessen, 2011). Teror bom yang terjadi di Makassar adalah peringatan bahwa ancaman terhadap ketentraman masyarakat masih menghantui kita. Memberantas terorisme hingga seakar-akarnya tidaklah semudah yang diucapkan. Benih-benih intoleransi, radikalisme, dan bahkan terorisme masih saja tumbuh meski para pelaku telah ditangkap dan tewas di tempat terkena ledakan bom bunuh diri. Intoleransi ialah bibit bagi radikalisme dan radikalisme merupakan cikal bakal munculnya aksi terorisme. Untuk memastikan tidak muncul regenerasi dalam aksi terorisme, oleh karena itu tidak cukup hanya dengan melakukan aksi-aksi penangkapan dan memproses pelaku ke jalur hukum. Memberantas habitus bagi persemaian para jihadis baru, niscaya membutuhkan program yang kompleks dan melibatkan peran aktif berbagai pihak. Melibatkan mantan kombatan, berbicara dari hati ke hati untuk mendekonstruksi pikiran yang salah adalah salah satu upaya yang perlu dilakukan.
Di luar itu, membangun narasi-narasi Islam yang ramah, toleran dan peduli kepada sesama adalah tantangan yang perlu terus dikembangkan untuk meredam pengaruh buruk sikap intoleransi dan paham radikalisme. Penulis : Bagong Suyanto Dekan FISIP Universitas Airlangga Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti