KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi III DPR secara sepakat memililih Johanis Tanak menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggantikan Lili Pintauli Siregar. Saat fit and proper test, Rabu (28/9), Johanis Tanak menyampaikan tiga konsep dalam pemberantasan korupsi.
Pertama, ia ingin agar aspek pencegahan didorong semaksimal mungkin agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan misalnya melalui koordinasi antar aparat penegak hukum (APH) yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Lalu, BPK dan BPKP, serta pemerintah daerah.
Johanis mencontohkan, ketika menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, ia melakukan rapat koordinasi dengan jajaran pemerintah daerah dan dinas-dinas terkait untuk menyampaikan pencegahan dan konsekuensi yang didapat ketika melakukan tindak pidana korupsi. Dia juga meminta pemerintah daerah untuk tidak segan segan berkoordinasi dengan kejaksaan tinggi agar tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan pemerintahan di daerah.
Baca Juga: Jokowi: Proses Hukum yang Ada di KPK Harus Dihormati Semua Pihak Kedua, konsep penindakan. Johanis berpendapat, penindakan mesti dilakukan apabila telah terjadi tindakan korupsi. Menurutnya, aspek penindakan terbilang membutuhkan anggaran lebih besar dibanding pencegahan, namun hal itu harus dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan agar pelaku bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya tersebut.
Ketiga, Johanis mengusulkan
restorative juctice dalam pemberantasan korupsi. "Menurut pemikiran saya,
restorative juctice tidak hanya dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana umum, termasuk juga dalam perkara tindak pidana khusus, dalam hal ini korupsi," kata Johanis dalam fit and proper test, Rabu (28/9). Johanis mengusulkan konsep restorative juctice dalam pemberantasan korupsi berupa pembayaran 2 kali lipat atau 3 kali lipat dari kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. Misalnya, ketika suatu pelaku tindak pidana korupsi menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 10 juta, maka
restorative juctice yang diterapkan adalah pelaku tersebut membayar denda kepada negara sebesar Rp 20 juta. "Saya punya pemikiran meskipun belum ada diatur dalam undang undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tetapi bisa diisi dengan suatu peraturan untuk mengisi kekosongan hukum dengan membuat mungkin dengan peraturan presiden," ucap Johanis. Johanis menilai, aturan tersebut bisa dibuat karena menurutnya terdapat teori ilmu hukum yang mengatakan bahwa peraturan sebelumnya dapat dikesampingkan oleh peraturan yang ada setelah peraturan sebelumnya dibuat. "Ketika ada
restorative juctice dia bisa mengembalikan 2 kali atau 3 kali (lipat dari kerugian negara) dia mengembalikan, maka tidak perlu diproses secara hukum," kata Johanis.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan berharap terpilihnya Johanis Tanak yang berlatar belakang sebagai seorang jaksa dapat memperkuat KPK. Terkait
restorative juctice dalam perkara korupsi, Trimedya mengatakan hal itu masih berupa usulan Johanis. "Kalau kita melihat UU Nomor 19 Tahun 2019 (tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tidak ada ruang itu (restorative juctice dalam perkara korupsi)," kata Trimedya.
Baca Juga: Sah! Johanis Tanak Terpilih Menjadi Pimpinan KPK Menggantikan Lili Pantauli Sirgar Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat