KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permasalahan gagal bayar fintech peer to peer lending PT Igrow Resources Indonesia atau PT LinkAja Modalin Nusantara (iGrow) membuka fakta baru. Dalam perjanjian iGrow dengan lender tak tercantum mitigasi risiko kredit macet. Padahal dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) Pasal 31 mewajibkan penyelenggara dalam hal ini fintech lending harus menuangkan penjelasan mitigasi risiko jika terjadi pendanaan macet. Berdasarkan sejumlah dokumen perjanjian antara lender dan iGrow yang didapatkan Kontan, tak tercantum mitigasi risiko pendanaan macet tersebut. Hal itu juga yang disoroti oleh Kuasa Hukum Lender iGrow Grace Sihotang dan Rifqi Zulham.
Grace menganggap isi perjanjian antara iGrow dan lender melanggar POJK. Sebab, tidak ada penjelasan mengenai mitigasi risiko pendanaan macet. "Lender iGrow kasihan karena perjanjiannya parah. Jadi, dalam perjanjian iGrow enggak ada klausul wanprestasi. Jadi, dianggap semua tindakan dari iGrow itu tindakan yang benar. Sebetulnya perusahaan fintech lending menyalahi ketentuan dari POJK. Salah satu poinnya, harus ada mitigasi risiko dan harus ada penyelesaian sengketa," ungkapnya kepada Kontan, Minggu (4/2).
Baca Juga: Tak Cantumkan Mitigasi Risiko Kredit Macet di Perjanjian, Fintech Bisa Kena Sanksi Hal yang sama juga diungkapkan Kuasa Hukum Lender iGrow Rifqi Zulham. Dia menerangkan dalam perjanjian iGrow tak terdapat soal mitigasi risiko pendanaan macet. "Tidak ada dituangkan terkait mitigasi risiko di dalam kontrak jika terjadi kredit macet atau sengketa," ujarnya kepada Kontan. Rifqi juga beranggapan dari awal ada indikasi iktikad tidak baik dalam merumuskan perjanjian. Sebab, dia berpendapat perjanjian itu menggunakan klausula baku yang dibuat sepihak oleh iGrow. "Meskipun klausula baku tidak dilarang karena alasan keadaan dan/atau kebutuhan para pihak. Esensi dalam kontrak yang dibuat oleh iGrow itu sepenuhnya hanya menguntungkan pihak iGrow saja sehingga tidak ada keseimbangan para pihak," ujarnya. Dalam dokumen perjanjian iGrow memang terdapat sub atau penjelasan mengenai penyelesaian sengketa. Akan tetapi, Rifqi berpendapat penjelasan yang disampaikan iGrow sudah ditentukan sepihak. "Dalam perjanjian, bahkan sudah ditentukan ketika terjadi sengketa para pihak wajib menyelesaikan melalui arbitrase oleh BANI," kata Rifqi. Rifqi menyampakan jika lender terpengaruh mengikuti alur mainnya iGrow, kemungkinan sangat besar lender akan dikalahkan dan kehilangan haknya dalam proses hukum gugatan wanprestasi nantinya. Sebab, kata dia, para pihak harus tunduk pada perjanjian yang ada karena diakui dan dianggap sah oleh para pihak. Dalam dokumen perjanjian iGrow mengenai penyelesaian sengketa salah satu poin yang tertera, yakni jika penyelesaian semua tanggung jawab dan kewajiban iGrow (tidak termasuk pengembalian dana oleh penerima pembiayaan modal) tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dalam periode tiga bulan, permasalahan tersebut harus secara khusus dirujuk dan akhirnya diselesaikan oleh arbitrase yang dikelola oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sesuai dengan peraturan arbitrase BANI untuk waktu yang berlaku. Sementara itu, dalam POJK Nomor 10/05/2022 Pasal 30 tercantum bahwa perjanjian paling sedikit harus ada dua, yakni antara penyelenggara dan lender, serta antara lender dan borrower. Mengenai hal itu, Grace berpendapat bahwa iGrow tidak membuat dua perjanjian. Akan tetapi, selama ini hanya platform ke lender saja. "Jadi, sebetulnya fintech lending tidak boleh satu perjanjian, tetapi dua. Sesuai Pasal 30 paling tidak harus dua, satu perjanjian mereka dengan lender dan satunya lagi perjanjian antara lender dengan borrower," katanya. Di sisi lain, Grace juga mengungkapkan bahwa ada dugaan borrower iGrow itu fiktif. Dia menceritakan ada lender iGrow yang mencoba menyelidiki langsung ke lokasi proyek si borrower. "Ada klien yang menyelidiki langsung ke lokasi proyek tersebut. Ternyata dari 10 proyek itu yang didanai cuma 1, demikian juga yang terjadi dengan TaniFund. Jadi, misal ada petani di Madiun, itu petaninya bingung dan tak ada yang didanai sama sekali. Jadi, ada dugaan perusahaan fintech itu membohongi konsumen, jadi meyakinkan PT-nya, tetapi nyatanya fiktif," tuturnya. Grace mengatakan langkah yang dilakukan iGrow itu makin mulus terjadi, didukung oleh literasi masyarakat yang masih minim sehingga tak ada sikap kritis lender untuk mengetahui perusahaan si peminjam. Mengenai isi perjanjian, Pelaksana Harian iGrow Rizcky Alfath menerangkan bahwa iGrow telah menjalankan hak dan kewajibannya sebagai platform penghubung antara pihak lender dan borrower sebagaimana tercantum dalam perjanjian. "Kami juga terus berkomunikasi secara intens dengan regulator terkait dengan kepatuhan terhadap regulasi. Penanganan kredit macet juga tercantum di dalam perjanjian antara kami dengan Borrower dan kami sudah melakukan langkah-langkah yang harus dilakukan sesuai kewajiban kami," ujarnya kepada Kontan, Senin (5/2). Rizcky juga menerangkan iGrow terus berkomitmen agar para borrower mengembalikan pinjamannya kepada para lender. Dia menyatakan pihaknya terus memastikan bahwa para borrower membayar pinjaman mereka kepada para lender, serta terus berupaya untuk menyelesaikan masalah. Dia bilang hal itu sejalan dengan pengawasan dari OJK dan juga mencerminkan tingkat kepatuhan dan transparansi, salah satunya komitmen iGrow yang terus mengoptimalkan upaya penagihan. "Jika diperlukan, kami juga melakukan langkah hukum yang diperlukan terkait dengan pengembalian dari pihak borrower," katanya. Akan tetapi, jika menilik POJK Nomor 10/05/2022 Pasal 32 ayat (2) yang menerangkan perjanjian antara lender dengan borrower, tak ada butir yang mengharuskan mitigasi risiko pendanaan macet tertuang di dalamnya. Bisa dibilang poin tersebut hanya wajib tercantum dalam isi perjanjian antara penyelenggara dengan lender.
Baca Juga: Diterpa Masalah Gagal Bayar, Begini Respons iGrow Soal Isi Perjanjian Di samping itu, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman menyampaikan apabila penyelenggara tak mencantumkan mitigasi risiko kredit macet dalam perjanjian antara penyelenggara dengan lender yang mana sesuai dengan aturan dalam POJK tersebut, penyelenggara bisa dikenai sanksi. "Sanksinya ada di POJK itu," katanya kepada Kontan, Senin (5/2).
Dalam POJK Nomor 10/05/2022 Pasal 41 ayat (1) tertera penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (2), ayat (3), dan ayat (7), Pasal 32 ayat (2), Pasal 32 ayat (3) dan ayat (6), Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 36 ayat (1), ayat (3), dan ayat (7), Pasal 37 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan/atau ayat (6) dikenai sanksi administratif. Adapun sanksi administratifnya bisa berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, atau pencabutan izin. Sanksi administratif dapat disertai dengan pemblokiran Sistem Elektronik Penyelenggara. Sebagai informasi, TKB90 iGrow hingga 5 Februari 2024 tercatat sebesar 53,44%. Terbaru, sejumlah lender menggugat iGrow di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 115/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL yang didaftarkan pada 30 Januari 2024. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat