Tersulut harga batubara, ini saham pertambangan yang memanas sejak awal tahun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara masih betah di atas level US$ 200 per ton. Mengutip Bloomberg, harga batubara ICE Newcastle untuk kontrak November 2021 berada di level US$ 225,75 per ton pada Jumat (8/10). Harga ini terkoreksi 19,35% dari harga tertinggi yang berhasil dicapai tahun ini, yakni di level US$ 280 per ton pada Selasa (5/10).

Namun, harga batubara masih menguat 183,07% jika dihitung dari harga penutupan tahun 2020 di level US$ 79,75 per ton.

Hal ini diikuti dengan penguatan sejumlah saham tambang batubara sejak awal tahun. Mengutip Bloomberg, penguatan harga tertinggi dialami saham PT Harum Energy Tbk (HRUM) yang melejit 162,58%, diikuti saham PT Bayan Resources Tbk (BYAN) dengan penguatan 85,46%, dan saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) yang melaju 79,42%.


Ada pula saham PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT) dengan penguatan 74,14%, saham PT Baramulti Suksessarana Tbk (BSSR) naik 44,54%, saham PT Mitrabara Adiperdana Tbk (MBAP) yang naik 36,43%, dan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang menguat 19,44% sejak awal tahun.

Baca Juga: Harga melonjak, porsi penjualan batubara Indika Energy (INDY) di pasar spot 15%-20%

Analis Panin Sekuritas Timothy Wijaya mengamini, tersulutnya harga saham emiten batubara didorong harga batubara yang sempat meningkat dan menembus level US$ 200 per ton pada tanggal 28 September 2021 lalu. Penguatan ini yang memang memulai rally dari saham-saham batubara.

“Harga batubara yang tinggi juga karena adanya kekurangan pasokan listrik di China, dimana mereka mulai melakukan penjatahan listrik pada jam puncak (peak hours) di berbagai provinsinya,” terang Timothy kepada Kontan.co.id, Minggu (10/10).

Namun, penguatan saham HRUM juga akibat sentimen positif dari berita akuisisi saham perusahaan nikel. Akan tetapi, penguatan saham HRUM belakangan ini lebih didorong oleh naiknya harga batubara.

Menurut Timothy, sentimen harga batubara terutama datang dari krisis pasokan listrik di China. Pemerintahan di negeri Panda tersebut juga ingin mengurangi penggunaan batubara ke depannya. Sehingga, China mengurangi investasi mereka di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan mencoba untuk mengurangi emisi karbon tahun ini.

Namun, nyatanya pasokan tahun ini tidak bisa menunjang kebutuhan listrik yang lebih tinggi karena adanya gelombang panas (heatwave) musim panas kemarin. Di sisi lain, pembukaan kembali ekonomi juga memakan banyak penggunaan listrik pada sektor industri yang kinerjanya meningkat sejak awal tahun.

“Ditambah lagi beberapa kecelakaan tambang sehingga pemerintah China juga lebih mengetatkan regulasi atas operasi,” ujar dia.

Analis MNC Sekuritas Aqil Triyadi mengatakan, penguatan harga batubara didorong oleh beberapa sentimen. Salah satunya adalah kenaikan harga gas di Eropa yang membuat biaya pembangkit listrik tenaga uap lebih mahal EUR 75,32 per megawatt/jam (MWh) atau naik 131,71% secara year-to-date (ytd).

Penggunaan gas ini lebih mahal ketimbang dengan biaya penggunaan batubara yang hanya EUR 44,18 per MWh. Hal ini tentunya akan meningkatkan permintaan batubara ke depan

Aqil menyebut, Goldman Sachs Group, Inc. memproyeksikan harga batubara termal Newcastle hingga kuartal IV-2021 akan mencapai US$ 190 per ton, sedangkan harga batubara kokas (coking coal) diperkirakan mencapai US$ 175/ton. Aqil melihat proyeksi ini cukup relevan dengan adanya peningkatan ekspor batubara global.

“Dari analisis teknikal, kami memperkirakan harga batubara hingga akhir 2021 berpotensi mencapai level hingga US$ 226 per ton,” tulis Aqil dalam laporannya, Jumat (1/10).

Baca Juga: Produksi dan penjualan Bumi Resources mencapai sekitar 61 juta ton hingga September

Editor: Khomarul Hidayat