Tertahan inflasi, bunga deposito sulit turun



JAKARTA. Harapan Bank Indonesia (BI) agar bunga deposito turun hingga kisaran 4%, tampaknya sulit terwujud. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai, bunga wajar penjaminan atau LPS rate belum bisa ditekan lagi lantaran beberapa bulan ke depan inflasi masih menghantui. Saat ini LPS rate sebesar 5,5%. "Dalam jangka pendek suku bunga akan fluktuatif," kata Komisaris LPS, Heru Budiargo, pekan lalu.

Selain faktor inflasi, perkembangan current account atau rekening giro yang tidak terlalu menguntungkan, juga menyebabkan suku bunga simpanan belum berangsur turun. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bergerak naik, sebagaimana bunga operasi moneter BI yang juga bergerak naik. "Belum lagi bank-bank di Indonesia yang tidak menurunkan ekspansi kredit dan dana, masih tumbuh pada kisaran 20%," katanya.

Heru menegaskan, LPS mendukung dan mendorong upaya-upaya efisiensi perbankan. Menurut dia, bunga wajar di bank harusnya satu koridor dengan bunga LPS. Akan tetapi, hal itu sangat dipengaruhi strategi bank, mekanisme asset liability management bank, dan keterkaitannya dengan kondisi makro ekonomi serta likuiditas keuangan global.


Sebelumnya, Gubernur BI, Darmin Nasution, kembali mengkritik biaya dana alias cost of fund perbankan dalam negeri yang lebih mahal dibanding negara tetangga di ASEAN. Alhasil, bunga kredit di Indonesia pun lebih tinggi dibanding negara tetangga.

Biaya dana kita lebih mahal dibandingkan Filipina dan Malaysia. "Memang ada faktor inflasi kita juga lebih tinggi, tapi sebetulnya bukan karena itu," ujar Darmin, pekan lalu.

Ia memaparkan, di Malaysia rata-rata bunga deposito mencapai 2,93% dengan tingkat inflasi 2,1%. Filipina rata-rata bunga depositonya sebesar 3,04% dengan tingkat inflasi 3,1%. Sementara di Indonesia (mengambil sampel 14 bank besar), rata-rata bunga deposito 5,75% dengan target tingkat inflasi 4,5%.

Data itu menunjukkan rentang antara bunga deposito dan inflasi di Indonesia lebih lebar dibandingkan Malaysia dan Filipina. "Kalau bunga deposito kita masih 5,5%-6% sementara negara lain 3%-4%, jarak itu yang harus kita selesaikan. Paling tidak kita harus mendekati ke 3%-4% itu. Ya harus turun secara perlahan," kata Darmin.

Selain biaya dana, Darmin juga menyoroti net interest margin (NIM) perbankan Indonesia yang paling besar ketimbang negara lain di ASEAN. Malaysia memiliki NIM 2,67%, Filipina 4,06%, dan Indonesia 5,44%. "Efisiensi kita lebih jelek. BOPO bisa jadi ukuran. Oke, BOPO perbankan kita 80%, tapi Malaysia 40%. Kalah kan?" katanya. Pembenahan ini perlu terus didorong, agar perbankan di Indonesia mampu bersaing menghadapi integrasi sektor keuangan ASEAN pada 2020.

Presiden Direktur Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja menuturkan, rata-rata bunga bank saat ini berada di atas LPS rate karena masih adanya deposito dengan bunga lebih tinggi yang berjangka panjang. Tetapi untuk deposan yang baru semestinya harus sesuai dengan LPS.

Hasil survei BI terhadap 71 bank menunjukkan, jumlah nasabah kaya dengan deposito di atas Rp 2 miliar hanya 3%. Namun, nasabah seperti ini menguasai 62% dari total nominal deposito.

Sementara itu, sekitar 36% dari total nasabah di 71 bank tersebut memperoleh imbal hasil di atas bunga penjaminan. Bahkan, 33 bank memberikan special rate 200 bps (2%) di atas BI rate. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: