KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Warga Singapura selama sepekan terakhir dihebohkan berita atas data-data pengidap
the immunodeficiency virus (HIV) yang bocor. Kementerian Kesehatan Singapura juga telah mengonfirmasi kebenaran kebocoran detail pribadi atas 14.200 orang pengidap HIV-positif yang disimpan dalam database. Adalah Mikhy Farrera Brochez, warga negara Amerika Serikat sebagai pembocor data-data tersebut. Ia juga menyebarkan data-data tersebut lewat daring. Kepolisian Kentucky, Amerika Serikat, sudah berhasil menangkap Brochez (34 tahun) yang membocorkan informasi pribadi atas 14.200 orang yang mengidap HIV Aids di Singapura itu. Brochez ditangkap di rumah ibunya di daerah Clark County, Winchester, Kentucky, AS. Usai ditangkap, Brochez juga langsung dibawa ke Pusat Penahanan Clark County. Dia dijadwalkan hadir di pengadilan distrik 18 Februari 2019 mendatang untuk menghadapi tuduhan pelanggaran pidana tingkat ketiga.
Lantas siapa Brochez? Pria AS ini tercatat telah melakukan sejumlah penipuan. Saat penggrebekan rumahnya di Singapura, polisi menemukan sejumlah ijazah pendidikan atas nama dirinya yang belakangan diketahui palsu. Ijazah palsu tersebut, antara lain dengan gelar linguistik dari Universitas Vanderbilt, gelar master di bidang psikologi dan perkembangan anak dari Universitas Paris. Tak hanya itu saja, polisi juga menemukan paspor yang dikeluarkan oleh Bahama dengan nama Malatesta da Farrera-Brochez. Brochez diketahui pernah memberikan presentasi dan berbicara di beberapa konferensi internasional sebagai akademisi. Dalam sebuah wawancara tahun 2010 dengan surat kabar lokal, Brochez mengklaim bisa berbicara dalam delapan bahasa. Ia juga mengaku sebagai putra dari seorang profesor psikologi anak dan remaja yang terkenal di Inggris. Hanya penelusuran
The Independent tentang asal usul Brochez, psikolog Inggris yang diakui menjadi orang tua Brozhez tidak mengenalnya. Brochez juga pernah dipenjara pada tahun 2016 karena berbohong tentang status HIV-nya untuk mendapatkan izin kerja di Singapura. Tahun 2018 lalu, dia lantas dijatuhi hukuman 28 bulan penjara karena kasus penipuan dan narkoba. Pada April 2018, Brochez dideportasi dari Singapura. Lantas dari mana Brochez mendapat data-data para pengidap HIV di Singapura itu? Brochez diketahui pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki berprofesi dokter di Singapura. Pria itu adalah Ler Teck, kepala Unit Kesehatan Masyarakat Nasional di Kementerian Kesehatan. Mereka hidup bersama di Singapura pada tahun 2008. Kemudian mereka menikah di New York pada 24 April 2014. Sebagai kepala unit kesehatan, Ler punya kewenangan mengakses informasi pasien pengidap HIV meski data ini rahasia. Ler diduga tidak mematuhi kebijakan rahasia tersebut. Belakangan Ler mengundurkan diri dari jabatannya pada Januari 2014. Pada Mei 2016, Kementerian Kesehatan mengajukan laporan kepada kepolisian setelah menerima informasi bahwa Brochez memiliki informasi rahasia pengidap HIV di Singapura. Kemudian, pada 22 Januari 2019, kepolisian menginformasikan Kementerian Kesehatan bahwa Brochez telah membocorkan data rahasia tersebut secara daring. Pro kontra registrasi data penderita HIV Dari banyak media yang di riset
kontan.co.id, data yang bocor itu data pasien HIV sejak tahun 1985 hingga Januari 2013 . Tercatat ada 5.400 orang Singapura yang mengidap HIV. Jumlah orang asing di Singapura yang mengidap HIV di Singapura mencapai 8.800 orang. Data yang bocor tersebut terbilang lengkap, karena data-data tersebut dilengkapi dengannama, nomor identifikasi, nomor telepon, alamat, hingga hasil tes HIV serta informasi medis lainnya. Tak pelak ini memantik kemarahan banyak orang. Pasalnya, registrasi data pribadi mereka untuk untuk tujuan kesehatan masyarakat, antara lain untuk pengawasan penyakit, pemantauan i infeksi HIV, pelacakan kontak hingga untuk pencegahan penyakit serta langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah. Data itu harusnya juga merupakan data rahasia. Lantaran bocor, banyak orang mempertanyakan perlunya registrasi dan penyimpanan data hingga mempertanyakan keamanannya. Beberapa profesional medis kepada
Channel NewsAsia menyebut, registrasi tetap relevan dilakukan. “Pendaftaran berguna untuk memantau kasus dan perkembangan HIV setiap tahun, termasuk untuk melacak perubahan virus dan cara penyakit itu ditularkan,” ujar spesialis penyakit menular dari Rumah Sakit Mount Elizabeth Novena, Dr Leong Hoe Nam. Registrasi penting karena bisa menjadi langkah antisipastif pemerintah dalam pengendalikan penyakit, hingga memproyeksikan biaya perawatan kesehatan. Apalagi, Undang-Undang Penyakit Menular, para profesional kesehatan berkewajiban memberi tahu Kementerian Kesehatan tentang hasil tes HIV positif. Registrasi juga penting karena bisa melacak pasien dengan menggunakan detail pribadi bisa mencegah penghitungan ganda. Angka-angka pengidap virus HIV akan lebih akurat. Toh, kewajiban yang sa,a seperti TBC dan Hepatitis B dan C juga mewajibkan adanya registrasi. Dr Jeremy Chan menambahkan, melacak tren HIV juga membutuhkan adanya data-data. Ini menjadi lebih mudah karena registrasi. “ Singapura kecil dan rentan,dan ada kebutuhan untuk meminimalkan risiko penyakit menular semacam itu,” ujar Dr Chan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), HIV juga bermutasi dan berkembang menjadi virus baru sehingga butuh pemantauan. Tahap paling lanjut dari infeksi HIV adalah Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang didefinisikan perkembangan kanker tertentu, infeksi atau manifestasi klinis parah lainnya. HIV selama ini banyak ditularkan secara seksual dan dapat menginfeksi siapa pun tanpa memandang jenis kelamin atau praktik seksual. Meski begitu, saat pertama kali ditemukan, HIV lebih banyak berjangkit di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Dan, menurut portal HealthHub Kementerian Kesehatan, 90% infeksi HIV di Singapura terjadi melalui hubungan seksual, dan 60% timbul dari hubungan seksual heteroseksual. Adanya data akan memudahkan pemantauan perkembangan penyakit ini. Meski begitu, sebagaian dokter juga menyebut, identifikasi gender dan kebangsaan saja cukup, sepanjang ada indentikfikasi unik. Ketua Komite Parlemen Pemerintah (GPC) untuk Kesehatan Dr Chia Shi-Lu menambahkan, dengan kebocoran data, perlu ada diskusi intensif atras kebutuhan untuk menyimpan database para penderita. “Ada cara untuk menandai penyakit tersebut sehingga profesional kesehatan sadar bahwa seseorang telah didiagnosis, tetapi mungkin tidak perlu mempertahankan database untuk itu,” katanya. Apalagi, dengan kemajuan medis selama dekade ini, penyakit HIV bisa jadi tidak menular sehingga kurang perlu untuk dilacak dengan database.
Dr Tan Kok Kuan, kepala petugas medis di Grup Klinik Dokter Tan And Partners, mengatakan pendaftaran tidak dibutuhkan. Saat pendaftaran HIV wajib dilakukan pada tahun 1985, sangat sedikit pemahaman tentang penyakit ini. “Dan tidak ada cara efektif untuk mengobatinya,” kata Dr. Tan. Kliniknya melakukan tes HIV anonim. Perbedaannya sekarang adalah bahwa petugas kesehatan dan profesional tahu persis penyebaran virus dan juga memiliki perawatan medis efektif yang baik yang memungkinkan orang HIV-positif untuk menjalani kehidupan yang sehat dengan masa hidup yang normal Kata dia, awalnya ketika mengetahui tentang HIV, pasien sangat takut sehingga membutuhkan perincian data untuk melindungi kesehatan masyarakat. “Saat ini, HIV tidak berbeda dengan penyakit kronis lainnya seperti tekanan darah tinggi atau diabetes, ”kata dia. Dr Leong menambahkan, selama 10 tahun terakhir, ada peningkatan besar dalam pengobatan HIV. “Perawatan ini menjadi lebih kuat dan menyebabkan lebih sedikit efek samping, ”katanya. Bahkan dengan HIV menjadi lebih mudah untuk diobati dan hidup dengan, stigma terhadap orang HIV-positif tetap ada, kata dokter dan penderita. Makanya, Dr Chan mengusulan data anonim registrasi akan menghilangkan stigma para penderita HIV di masyarakat.
Editor: Titis Nurdiana