Tertekan cuaca ekstrem & apel China (1)



Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib petani apel di Kota Batu, Malang. Sudah produksi menyusut akibat perubahan iklim, mereka juga kalah bersaing melawan gempuran impor apel China.  

Perubahan iklim itu mencakup suhu udara yang makin panas. Sementara tanaman apel butuh suhu udara dingin. Petani menuding, perubahan iklim itu disebabkan maraknya pembangunan kantor, hotel dan perumahan yang kurang  memperhatikan lingkungan.

Fenomena menyusutnya perkebunan apel di Kota Batu ini sudah mulai terjadi sejak 2.000 silam. Namun, belakangan ini penyusutan lahan makin meluas.


Makanya, jangan heran, kalau berkunjung ke Kota Batu, kini Anda hanya bisa menemukan tanaman apel di desa-desa yang berada di dataran yang tergolong paling tinggi. Padahal dulu, perkebunan apel di Kota Batu sangat mudah ditemukan karena tersebar.

Dulu, mulai dari alun-alun Kota Batu,   kita banyak menemukan lahan tanaman apel di halaman depan rumah. Belum lama ini, KONTAN sempat menyambangi Kota Batu. Dari pantauan KONTAN, kini tanaman apel hanya dapat ditemui pada wilayah di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), seperti di daerah Bumiaji. Itu pun luas perkebunan apel juga sudah menyusut.

Di Kecamatan Bumiaji ini ada dua desa yang menjadi sentra perkebunan apel, yakni Desa Binangun dan Desa Tulung Rejo. Sugiman, Ketua Paguyuban Kelompok Tani Makmur Abadi Desa Tulung Rejo bilang, saat ini total perkebunan apel di Kota Batu hanya sekitar 1.500 hektar (ha) sampai 1600 ha. "Padahal dulu, jumlah perkebunan apel di Batu bisa dua kali lipat dari luas lahan sekarang," ujarnya.

Bahkan, di Desa Tulung Rejo sendiri, lahan perkebunan apel juga menyusut. Namun, penyusutannya tidak separah desa-desa lain karena letak Desa Tulung Rejo berada di tempat paling tinggi. Desa ini tak jauh dari Taman Rekreasi Selecta.

Perubahan iklim di Kota Batu rupanya juga mempengaruhi produktivitas tanaman apel di desa ini. Contohnya Sugiman yang juga petani apel. Kini ia hanya bisa mendapatkan 15 ton apel sekali panen. Sebelumnya, hasil panennya bisa mencapai 30 ton.

Kondisi itu, diperparah dengan maraknya apel impor dari China yang harganya lebih murah dari apel Malang. Petani yang tak kuat menanggung rugi, mereka memilih profesi lain, seperti beternak atau menanam jeruk.

Nah, fenomena itu banyak ditemukan di Desa Binangun yang posisinya ada di dataran lebih rendah ketimbang Desa Tulung Rejo. Darmanto, termasuk salah satu petani apel di Desa Binangun yang kini memilih menanam jeruk. Varietas jeruk yang mereka kembangkan dinamakan jeruk keprok batu 55.

Selain jeruk, ia juga beternak ayam. Kini luas perkebunan apelnya hanya 20% dari luas lahan miliknya yang mencapai 2,5 ha. "Itu pun lahannya saya biarkan menganggur," katanya.    (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri