KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kuartal I-2021 rupanya bukan menjadi periode yang baik bagi kondisi pasar modal. Berbagai kinerja instrumen investasi cenderung membukukan pertumbuhan kinerja yang tipis, bahkan beberapa berada di area negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) misalnya, sepanjang kuartal I-2021, tercatat hanya berhasil mencatatkan pertumbuhan tipis 0,11%. Sementara obligasi pemerintah yang tercermin dari Indobex Government Bond justru berkinerja negatif, yakni turun 2,35%. Obligasi korporasi yang tercermin dari Indobex Corporate Bond malah berhasil tumbuh 1,66%. Sementara untuk kinerja instrumen
safe haven, dolar Amerika Serikat (AS) berhasil membukukan pertumbuhan kinerja sebesar 3,38%. Lalu emas justru bernasib sebaliknya, si kuning ini malah terkoreksi hingga 11,15%.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, pelaku pasar sebenarnya menyambut kuartal I-2021 dengan ekspektasi tinggi seiring proses pemulihan ekonomi. Hal ini bahkan sempat membuat IHSG naik hingga level 6.400 kala itu. Sayangnya, selepas itu terdapat berbagai sentimen yang memukul ekspektasi pelaku pasar.
Baca Juga: IHSG sudah jenuh jual, analis: Ada potensi rebound jangka pendek “Mulai dari kasus positif Covid-19 di dalam negeri yang rata-rata tembus 10.000 kasus per hari sehingga ada kekhawatiran pemulihan ekonomi berjalan lebih lama. Belum lagi, dari eksternal ada kenaikan yield US Treasury yang memicu investor asing melepas kepemilikan di saham dan SBN,” jelas Wawan kepada Kontan.co.id, Rabu (31/3). Wawan menambahkan, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebut pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2021 yang masih akan berada pada rentang negatif semakin memukul kondisi pasar. Hal ini pada akhirnya membuat IHSG menutup kuartal I-2021 di bawah level 6.000. Sementara untuk kondisi pasar reksadana, kondisinya juga tidak banyak berbeda. Tercatat hanya reksadana pasar uang yang berhasil membukukan kinerja positif pada tiga bulan pertama tahun ini. Hal ini tercermin dari Infovesta 90 Money Market Fund Index yang tumbuh 0,91% hingga 30 Maret 2021. Lalu untuk reksadana pendapatan tetap yang tercermin dari Infovesta 90 Fixed Income Fund Index mengalami koreksi 2,11%. Kemudian reksadana campuran (Infovesta 90 Balanced Fund Index) juga terkoreksi 1,85%. Reksadana saham jadi yang paling terpukul setelah Infovesta 90 Equity Fund Index mengalami koreksi 4,04%. “Reksadana saham terpukul lebih dalam dari IHSG karena ketika investor asing keluar, saham yang banyak dilepas adalah saham big caps. Sementara reksadana saham kan banyaknya diisi oleh saham big caps, oleh karena itu terkoreksinya lebih dalam. Kinerja reksadana pendapatan tetap juga minus karena mayoritas isinya SBN yang juga terkoreksi,” imbuh Wawan. Walau begitu, Wawan menyebut investor bisa menyambut kuartal II-2021 dengan optimisme yang lebih baik. Pasalnya, vaksinasi di Indonesia masih terus berjalan dan diharapkan bisa mempercepat pemulihan ekonomi. Lalu, rata-rata kasus harian positif Covid-19 sudah berangsur turun menjadi di kisaran 5.000-an. Apalagi, pada kuartal II-2021 akan menjadi periode bagi emiten untuk bagi-bagi dividen, serta mulai rilis laporan keuangan. Lalu, harga komoditas juga sudah mulai stabil sehingga bisa untungkan perusahaan berbasis ekspor. Wawan menilai ini diharapkan bisa jadi sentimen positif untuk pasar saham. “Mungkin pada kuartal II-2021, IHSG masih akan bergerak utnuk mencari titik keseimbangan baru, tapi begitu katalis positif mulai masuk, IHSG bisa bergerak cepat ke 6.400. Tapi, kami optimistis IHSG bisa menuju ke 6.600 pada akhir tahun sehingga masih ada upside sekitar 10%,” terang Wawan.
Baca Juga: Arus modal asing terus keluar dari pasar modal, ini penyebabnya Sementara untuk pasar obligasi, Wawan menilai dengan inflasi yang masih rendah, lalu pertumbuhan ekonomi masih negatif, pada akhirnya membuat ruang pemangkasan suku bunga acuan terbuka lagi. Apalagi, dengan terkoreksi SBN beberapa waktu terakhir, justru membuka peluang untuk masuk di harga yang murah.
Menurutnya, dengan suku bunga yang terus turun, saat ini yield SBN harusnya berada di bawah 6%. Sementara saat ini, yield SBN masih bergerak di kisaran 6,6-6,7%. Oleh karena itu, Wawan meyakini SBN sekarang sedang murah dan punya prospek menarik ke depan. Bahkan, Wawan cenderung overweight ke obligasi, ketimbang saham. Ia merekomendasikan investor bisa membagi 50% portofolionya ke obligasi, 20% ke saham, dan 20% ke pasar uang. “Portofolio ini tergolong cukup agresif, tapi kami percaya tahun ini jadi awal tahun pemulihan ekonomi. Barulah pada tahun depan, pemulihan ekonomi baru benar-benar terjadi seiring vaksinasi yang sudah lebih luas dan aktivitas ekonomi mulai normal kembali,” pungkas Wawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi