JAKARTA. Prospek industri rokok dalam negeri semakin kelabu. Selain tarif cukai rokok, kenaikan bahan baku ikut menekan laba bersih produsen rokok, yakni PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Per akhir September 2012, GGRM sejatinya mencetak pertumbuhan pendapatan 16,5%
year-on-year (YoY) menjadi Rp 35,6 triliun. Namun laba bersih emiten ini menyusut 21% (YoY) menjadi Rp 3 triliun. Salah satu faktor penggerus bottom line GGRM adalah kenaikan beban bahan baku sebesar 41,6% (YoY) menjadi Rp 7,3 triliun di akhir kuartal III 2012. Untuk menggenjot kinerja di tahun depan, analis menilai, GGRM harus berani berinovasi dengan beralih ke segmen sigaret kretek mesin
low tar low nicotine (SKM LTLN).
Analis Trimegah Securities Ivan Chamdani mengharapkan tahun depan GGRM sudah bisa bangkit lagi karena ada indikasi penurunan ongkos bahan baku. Dia bilang, ongkos bahan baku tahun ini menanjak karena hasil panen 2010 untuk stok tahun ini kurang bagus. Begitu pun dengan harga cengkeh yang terus meningkat. "Manajemen GGRM harus mengatur strategi untuk mengatasi masalah yang sama di tahun depan," ujar dia. Pada 2007, kata Ivan, proporsi bahan baku terhadap penjualan GGRM adalah 15,4% dan terus meningkat hingga 18,1% di 2011. Hingga kuartal III 2012, proporsi bahan baku terhadap penjualan mencapai 21,8%. Kata dia, meski harga bahan baku di kuartal IV 2012 cenderung menurun, harga tembakau masih belum stabil sehingga menjadi ancaman tersendiri. Selama ini GGRM fokus memproduksi rokok
high tar nicotine. Karakteristik rokok jenis itu butuh bahan baku tembakau dari Indonesia yang produksinya justru masih lesu. Ivan berpendapat, GGRM seharusnya mulai beralih memperkuat produksi SKM LTLN. Rokok berkadar nikotin rendah itu memakai bahan tembakau yang bisa diimpor dari China atau Turki. Harga tembakau jenis ini cenderung lebih stabil. Namun, GGRM bakal sulit bersaing dengan kompetitor yang sudah lebih dulu melihat peluang ini. Padahal GGRM sebenarnya sudah memiliki produk
low nicotine dengan merek Surya Professional Mild, tapi kurang berkontribusi memuaskan.
Analis Samuel Sekuritas Indonesia, Joseph Pangaribuan, juga menilai GGRM terlambat berinovasi dan melakukan penetrasi ke segmen SKM LTLN. Padahal, produk
low nicotine justru menjadi pendorong pertumbuhan industri rokok di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Berbeda dengan Ivan, Joseph tak yakin di tahun depan kinerja GGRM bisa pulih. Sebab, dengan terlambat berinovasi GGRM kehilangan pangsa pasar cukup besar. "Belum ada tendensi perbaikan kinerja. Tapi kalau harga bahan baku membaik, kinerjanya bisa terangkat sedikit," ujar doa. Joseph memperkirakan, beban bahan baku di kuartal IV 2012 menyusut seiring penurunan harga tembakau pada akhir kuartal III lalu. Dus, Joseph memprediksi laba bersih GGRM di akhir 2012 mencapai Rp 4,43 triliun, dengan penjualan Rp 46,5 triliun. Sedangkan Ivan memproyeksikan penjualan GGRM di tahun ini Rp 46,8 triliun dan bisa tumbuh 12,18% pada 2013 menjadi Rp 52,5 triliun. Ivan merekomendasikan
buy saham GGRM dengan target Rp 54.500 per saham, PER 2013 17,2 kali. Sedangkan Joseph menyarankan
hold dengan target Rp 53.000. Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada merekomendasikan
buy dengan target Rp 50.000 di akhir 2012. Harga GGRM, Rabu (7/11), ditutup menanjak 2,26% menjadi Rp 47.500 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro