Terungkap alasan pemerintah minta DPR bahas tax amnesty II, begini kata pengamat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, ternyata alasan dibalik permintaan Pemerintah ke DPR untuk bahas tax amnesty jilid 2 berkaitan dengan data dari Automatic Exchange of Information (AEoI) 2018. Berdasarkan dokumen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diterima oleh pihaknya, data AEoI 2018 tersebut diperoleh dan diteliti oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 

Hasil penelitian DJP atas data AEoI 2018 mengungkap fakta berupa data aset keuangan senilai Rp 2.742 triliun. Perolehan data oleh DJP dari AEoI 2018 tersebut lebih besar Rp 670 triliun dari data aset setara kas di SPT PPh OP (Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan orang pribadi) 2018. 

Dengan kata lain, menurut Prianto, ada potensi tambahan aset orang pribadi sebesar Rp 670 triliun hanya untuk 2018. Dari data tersebut, potensi PPh tambahannya dapat mencapai Rp 201 triliun jika digunakan tarif tertinggi PPh orang pribadi sebesar 30%. 


Menurut dokumen Kemenkeu di atas, DJP telah mengidentifikasi 30.722 Wajib Pajak (WP) yang nilai datanya setara dengan Rp 78 triliun. Selain itu, DJP juga telah melakukan himbauan kepada 9.846 WP dengan nilai data setara Rp 39 triliun. 

Baca Juga: Pengamat: Rencana tax amnesty jilid 2 mirip sunset policy

Perolehan data yang sangat besar di atas merupakan hasil implementasi dari UU No. 9/2017 yang disahkan pada 23 Agustus 2017. “UU tersebut menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menjadi undang-undang,” kata Prianto.

Berdasarkan UU No. 9/2017 beserta peraturan pelaksananya, potensi PPh pasti akan bertambah jika data AEoI 2018 digabungkan dengan data 2019. Akan tetapi, menurut Prianto berdasarkan dokumen Kemenkeu di atas, “DJP harus menghadapi empat tantangan ketika mengolah data hasil pertukaran informasi sesuai skema AEoI”. 

Pertama, data AEoI tidak menyertakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), padahal data tersebut sangat esensial agar DJP dapat melakukan perbandingan data (data matching) dengan SPT PPh OP. Kedua, alamat pemilik aset keuangan sesuai data AEoI tidak lengkap atau berada di luar negeri sehingga DJP mengalami kendala untuk menindaklanjutinya. 

Ketiga, DJP tidak menemukan informasi nama dan tanggal lahir pemegang rekening keuangan sehingga pelacakan melalui Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan lebih sulit. Keempat, data AEoI hanya mencakup data keuangan dan tidak mencakup data properti serta investasi aset kripto yang saat ini sedang aktual diperbincangkan.

Baca Juga: Anggota Komisi XI Andreas tolak tax amnesty 2, tapi reformasi pajak harus dilanjutkan

“Pilihan kebijakan pajak berupa usulan tax amnesty jilid 2 sepertinya menjadi opsi paling realistis dan instan bagi pemerintah untuk menambah penerimaan pajak secara cepat ketika pandemi COVID-19 belum juga berakhir. Jika DJP mengandalkan cara yang ada saat ini berupa intensifikasi dan ekstensifikasi, peningkatan penerimaan pajak secara cepat dan signifikan kemungkinan sulit tercapai," ujar Prianto dalam siaran pers, Senin (24/5).

Menurut Prianto, cara intensifikasi dan ekstensifikasi tersebut membutuhkan waktu lama karena ditempuh melalui surat himbauan dan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK) hingga pemeriksaan pajak. Ketika hasil pemeriksaan berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP) memunculkan tax dispute (sengketa pajak), proses litigasinya di tingkat keberatan, banding, dan peninjauan kembali (PK) dapat berdurasi hingga 10 tahun sampai ada pembacaan putusan PK oleh Mahkamah Agung. "Ini bukan waktu sebentar karena pemerintah saat ini sudah berganti," kata dia.

Selama empat tantangan yang muncul dari pengolahan data AEoI di atas belum terpecahkan, menurut Prianto, proses pengawasan WP dan data matching juga tidak akan optimal. Sebagai konsekuensinya, DJP belum dapat menempuh proses intensifikasi dan ekstensifikasi secara efektif dan efisien.

Pada akhirnya, Prianto menyatakan, apapun jenis kebijakan pajak yang akan diterapkan untuk mengatasi shortfall penerimaan pajak di tengah pandemi COVID-19, semua elemen masyarakat harus menyadari salah satu falsafah pajak no taxation without representation. Berdasarkan falsafah tersebut, semua jenis pajak harus diputuskan dan ditetapkan melalui perwakilan rakyat yang ada di DPR sesuai Pasal 23A UUD 1945. Hasil akhirnya adalah undang-undang yang mengikat seluruh rakyat Indonesia.

Baca Juga: Skema tarif PPh orang pribadi akan diubah, berikut usulan dari pengamat pajak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati