Sudah lebih dari dua pekan terakhir, rupiah terus bergerak menuju Rp 15.000 per dollar AS. Masyarakat mulai mengkhawatirkan kinerja ekonomi Indonesia. Para ekonom pun seakan tengah berlomba untuk menyampaikan hipotesa masing-masing. Sebagian kalangan membandingkan aksi pelemahan nilai tukar kali ini dengan sejarah kelam di medio 1997–1998, hingga terciptalah opini bernada pesimistis. Sebagian lagi mengusung semangat optimistis dengan mengidentifikasi beberapa perbedaan indikator fundamental perekonomian baik skala global maupun domestik. Namun terlepas dari polemik yang tengah terjadi, berharap pada penguatan rupiah perlu dipahami sebagai hal logis. Statement inilah yang membedakan secara jelas antara kerangka berpikir ekonomi dengan agenda politik dalam mengkaji realitas yang tengah berlangsung. Mengutip pandangan salah satu pakar keuangan internasional, fluktuasi nilai tukar satu mata uang merupakan kombinasi dari lima faktor utama; perubahan inflasi, suku bunga, tingkat pendapatan antara realitas di Amerika dengan situasi di Indonesia, perubahan pola pengendalian atas mata uang serta perubahan ekspektasi atas masa depan dari pergerakan nilai tukar mata uang tersebut.
Pada penelitian yang kami lakukan atas lima faktor itu teridentifikasi ekspektasi pasar memegang kendali utama dalam upaya penguatan rupiah. Fakta itu dipicu gaung pesta demokrasi tahun depan. Adu logika para ekonom dari kedua belah pihak nyata-nyata berhasil menciptakan riak kecil di antara pelaku bisnis. Meski masih dalam batasan wajar, silang pendapat ini mesti mengerucut pada satu titik kecintaan bangsa pada mata uang rupiah. Sebab jika tidak, maka aksi yang terjadi akan berpotensi memperburuk kinerja dalam jangka menengah. Menyikapi kondisi tersebut, aksi yang dibutuhkan oleh bangsa kita saat ini adalah gerakan untuk lebih mencintai rupiah baik dari korporasi maupun rumah tangga. Sejenak marilah kita belajar dari krisis di Yunani yang diawali pada medio tahun 2010–2012. Merujuk pada catatan salah satu kantor berita internasional, krisis kala itu diawali dengan kuatnya kekhawatiran ketidakmampuan negara melunasi utang yang akan jatuh tempo. Selain itu, muncul juga wacana agar pemerintah kembali ke mata uang sebelum era pemberlakuan euro. Opini ini spontan membuat para investor yang memegang investasi berdenominasi Euro kalang-kabut. Pada situasi yang cukup chaos ini, tensi politik akan terus menguat. Alhasil fakta itulah yang membuat aliran dana asing keluar dari Yunani bahkan sebelum lonceng krisis berbunyi nyaring. Membutuhkan waktu lama Satu pelajaran berharga dari kasus di atas adalah perlunya sebuah kesadaran nasional dalam membangun suasana kondusif meredam setiap kemungkinan negatif yang makin melemahkan mata uang kita. Masalahnya, bagaimana suasana kondusif itu dibangun? Pertama, transparansi kebijakan untuk menahan aksi pelemahan rupiah perlu segera ditingkatkan. Contoh sederhananya adalah ajakan kepada khalayak ramai mengurangi penggunaan mata uang asing. Para pimpinan publik kiranya perlu mempelopori gerakan ini. Dimulai dari pergeseran orientasi ke produk lokal khususnya di sektor komersial teknologi dan komunikasi. Realitas dewasa ini adalah moment yang pas bagi kebangkitan industri domestik. Sebab dengan rupiah yang terdorong ke level Rp 15.000 per dollar AS, harga produk impor akan semakin mahal. Maka dengan asumsi ketidakseimbangan antara kenaikan harga barang dengan pendapatan, produk tersebut tidak akan terbeli dengan mudah. Artinya, bila para pelaku dalam negeri mampu memperbesar skala produksi berbahan baku lokal maka harga yang ditawarkan dapat lebih terjangkau. Alhasil dengan kualitas dan layanan yang seimbang dengan produk impor, pergeseran akan terjadi. Namun persoalan utama adalah produksi dalam negeri masih didominasi komponen material impor. Karenanya pendampingan pemerintah baik dari sisi regulasi maupun penata struktur pasar mutlak diperlukan. Sejak enam bulan terakhir, terobosan di bidang penetapan tarif bagi kemudahan ekspor memang telah dilakukan. Kini tinggal bagaimana mekanisme itu dapat menjadi efektif di tataran pelaksanaan. Kedua adalah ada pada aliran mata uang lokal. Senada dengan sektor teknologi, sektor pariwisata merupakan salah satu mesin penguat rupiah. Dengan kekayaan alam yang luar biasa, terbentang dari Sabang hingga Papua, kenaikan dollar AS spontan membuat biaya wisata ke luar negeri semakin tinggi. Di titik itu, pelbagai kalangan kembali di ajak untuk mengalokasikan dananya ke wisata lokal. Selanjutnya dari sisi pengembang sektor wisata, kini adalah saat yang tepat untuk menarik arus wisatawan asing. Dengan nilai rupiah yang bertengger di kisaran Rp 14.800–Rp 15.000, berwisata di Indonesia akan menjadi lebih terjangkau. Pola inilah yang kini giat dilakukan Singapura dan Vietnam. Di satu sisi ia mampu meredam gejolak nilai kurs, sisi lain i mampu meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Perubahan cara pandang berikutnya adalah pada skema tabungan dan investasi masyarakat. Kekhawatiran akan kontinuitas pelemahan nilai rupiah biasanya diikuti dengan aksi beli dollar sebagai tabungan dana investasi. Nah dalam konteks gerakan cinta rupiah, aksi menabung serta investasi jangka menengah dan panjang perlu dirancang sebagai sarana untuk menciptakan arus deras mata bagi uang lokal. Meski sederhana, cara ini membutuhkan aksi heroik yang sangat kuat. Ini saat yang tepat bagi korporasi untuk menunjukkan identitas kewarganegaraannya. Korporasi yang kini menyimpan dollar dalam jumlah signifikan perlu segera diyakinkan untuk merubah orientasinya menjadi pengumpul rupiah. Intinya, optimistis akan masa depan ekonomi bangsa bermodalkan rupiah perlu terus digelorakan. Sebab hanya inilah yang akan menciptakan pusaran kuat mata uang lokal. Memasuki pertengahan bulan September, riak pelemahan masih akan terus membayangi, terlebih saat bertepatan dengan jadwal jatuh tempo sejumlah utang korporasi. Sehingga, alih-alih adu konsep masalah pelemahan rupiah, akan lebih bijaksana jika para pihak beradu aksi untuk menguatkan nilai tukar mata uang kita. Terdapat keyakinan bahwa jika para elite politik berani untuk mengambil keputusan pada ranah adu-aksi ini, maka sentimen positif pasar akan masa depan rupiah bisa terbentuk.
Kita hendaknya selalu ingat bahwa hanya butuh dua hari untuk menjatuhkan nilai suatu mata uang. Namun perlu upaya tahunan untuk menguatkan kembali. Maka jangan pernah berhenti berharap akan penguatan nilai tukar mata uang kebanggaan bangsa. Mari kita satukan langkah demi terciptanya gerakan cinta rupiah untuk Indonesia yang lebih damai dan sejahtera. Selamat berefleksi, sukses senantiasa menyertai Anda.•
Aries Heru Prasetyo Core Faculty PPM School of Management Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi