KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tesla Inc., pabrikan mobil listrik dari Amerika Serikat (AS), masih memegang takhta sebagai perusahaan otomotif paling inovatif menurut survei Future Readiness Indicator (FRI) 2024 yang dirilis oleh The International Institute of Management and Development (IMD). Menurut survei tersebut, Tesla masih berada di peringkat tertinggi, diikuti oleh BYD Co. Ltd. dari China di posisi kedua, Volkswagen AG dari Jerman di tempat ketiga, Stellantis NV dari Belanda di urutan keempat, dan Hyundai Motor Co. Ltd dari Korea Selatan di peringkat kelima. Survei tahunan FRI 2024 mengukur ketahanan dan tingkat inovasi dari 24 perusahaan otomotif dunia. Peringkat didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan melalui inovasi.
“Indikator kesiapan masa depan selalu bergerak dinamis. Menurunnya peringkat perusahaan dalam daftar bukan berarti perusahaan itu tidak inovatif. Inovasi mereka tidak cukup pesat, sehingga diambil alih oleh para pesaing,” jelas Howard Yu, Direktur IMD Center for Future Readiness.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Hak Tanah untuk Investasi Elon Musk di Indonesia Yu mengambil contoh yang terjadi pada Toyota yang peringkatnya terus merosot dari posisi dua pada 2022, ke peringkat 10 di 2023, dan kini ada di posisi 11. Posisi Toyota itu lantas disalip oleh BYD, Neo, dan Lee Auto dari China. “Mengapa peringkat Toyota jatuh? Bukan karena mereka tidak membuat persiapan untuk kendaraan listrik, tapi inovasi mereka tidak bergerak secepat kompetitor asal China,” tambah Yu. Tesla berhasil mempertahankan posisinya di peringkat teratas dengan skor 100 pada 2023 dan 2024. Namun, perusahaan ini mesti waspada lantaran para pesaingnya terus merapatkan posisi. Sebagai contoh raksasa EV Tiongkok BYD terus meningkatkan skor daya saing mereka dari 74,7 di 2023 menjadi 78,20 tahun ini. Ditambah lagi pada Q3 2023, untuk pertama kalinya penjualan BYD sempat melampaui Tesla. Meski akhirnya penjualan kendaraan listrik Tesla kembali unggul pada Q1 2024. Hal ini menunjukkan dominasi Tesla terancam. “Temuan yang paling mengejutkan adalah bagaimana supremasi Tesla di industri mobil listrik sangat cepat terbalap. Tesla memang masih nomor satu, tapi selisih skor dengan peringkat di bawahnya semakin menipis,” tuturnya.
Baca Juga: Bertemu Elon Musk, Jokowi Ajak Kembangkan Investasi di Indonesia Strategi Mobil Listrik China
Yu mengungkap pabrikan mobil listrik asal Tiongkok akan menguasai sepertiga pasar mobil EV (electric vehicle) global pada tahun 2030, imbas dari harga yang bersaing dan inovasi yang agresif. Apalagi produsen mobil Tiongkok lainnya, seperti Geely (42,34), Nio (31,30), dan Li Auto (64,37), memang membanderol kendaraan listrik mereka dengan harga terjangkau. Langkah ini memberi produsen mobil listrik China keunggulan kompetitif dan menjadi ancaman serius bagi para pemanufaktur mobil asal Eropa. Melihat dominasi China di sektor industri kendaraan listrik yang makin agresif dengan banderol harga murah, belakangan Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengenakan tarif pajak 100%. Tarif ini diberlakukan untuk melindungi pabrikan mobil listrik asal Amerika Serikat dari serbuan kendaraan listrik impor asal China. Apalagi belakangan marak isu kalau China kelebihan kapasitas produksi mobil listrik sehingga menggencarkan impor ke berbagai negara, termasuk Asia Tenggara. Menanggapi situasi ini, Yu menyebut ke depan pabrikan mobil listrik China bakal menerapkan sistem white-label untuk mengakali aturan tarif ini. Mirip dengan strategi “Intel Inside” dimana produsen laptop menggunakan prosesor Intel tanpa merakit CPU mereka sendiri. Pabrikan China akan menjual komponen, baterai, teknologi, atau semikonduktor mereka. Saat ini BYD juga sudah memasok chipset dari pabrik semikonduktor mereka ke Fiat dan Toyota di China. Jadi, hal serupa besar kemungkinan akan diterapkan ke negara-negara lain termasuk AS “Dengan cara ini, margin yang didapat bisa lebih besar. Sebagai contoh, tidak ada produsen yang mendapat uang dari AC rakitan. Pendapatan terbesar ada di produsen kompresor. Sama halnya dengan PC: merakit PC tidak menghasilkan uang lebih banyak dari mereka yang menjual chipset dan perangkat lunak. Jadi, saya kira industri mobil bergerak ke arah yang sama,” paparnya.
Baca Juga: Tesla akan PHK 601 Karyawannya Lagi di Pabrik California Potensi Indonesia
BYD dan produsen kendaraan listrik Tiongkok lainnya belakangan gencar melakukan ekspor ke sejumlah pasar di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Langkah ini dilakukan produsen mobil listrik China untuk menyalurkan kelebihan kapasitas produksi di pasar domestik China. Untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat manufaktur EV Asia Tenggara, Yu menyarankan sejumlah langkah. 1. Mengembangkan kebijakan, aturan, dan insentif, untuk mendukung adopsi dan manufaktur kendaraan listrik, misal berupa pembebasan pajak, subsidi, infrastruktur pengisian daya, dan persyaratan kandungan lokal. 2. Fokus pada penyediaan listrik pada angkutan umum (bus, kendaraan roda 2, roda 3) dan armada komersial, sebab lebih hemat biaya tertinggi.
3. Menarik investasi asing dan kolaborasi untuk manufaktur kendaraan listrik, produksi baterai, dan pengolahan mineral. 4. Memanfaatkan cadangan nikel Indonesia yang besar dengan menawarkan insentif. Dengan memberikan keringanan pajak dan subsidi kepada pembuat kendaraan listrik dan baterai, diharapkan bisa meningkatkan kemampuan pemrosesan dan manufaktur hilir untuk baterai dan kendaraan listrik. Sehingga, bisa bersaing dengan China, Korea Selatan, dan Jepang, yang memiliki teknologi dan manufaktur baterai yang lebih unggul. 5. Bekerja sama dengan negara Asia Tenggara lain untuk menyelaraskan standar kendaraan listrik, insentif, dan infrastruktur untuk menciptakan pasar dan rantai pasokan regional. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .